Oleh : Muhammad Naufal Darmadi dan Fanny Patricia Gultom
Staf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI
Di tengah gelombang perubahan iklim yang mendesak, Presiden terpilih Prabowo Subianto menyampaikan bahwa dirinya menargetkan perolehan keuntungan hingga Rp1.000 triliun (65 miliar dolar AS) pada 2028 dari kredit karbon di berbagai proyek. Dalam rencana ambisius ini, rencananya pemerintah akan membentuk suatu badan baru untuk mengatur emisi karbon yang selama ini masih dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Badan tersebut akan mengawasi pencapaian target emisi Indonesia di bawah Paris Agreement serta mengelola dana hijau dan proyek-proyek penyeimbangan karbon guna menghasilkan kredit karbon untuk pasar internasional. Lantas, apakah mengubah karbon menjadi suatu komoditas adalah langkah yang tepat dalam mengatasi krisis iklim? Bagaimana dampaknya secara sosial dan ekologis?
Mengenal Perdagangan Karbon
Peningkatan suhu permukaan, kenaikan tinggi laut, dan perubahan siklus musim alami tentu menjadi suatu kekhawatiran di dunia. Permasalahan-permasalahan tersebut berasal dari satu penyebab yang sama, yakni peningkatan gas rumah kaca di atmosfer. Menurut World Economic Forum, para regulator sejatinya memiliki tiga pilihan dalam mengurangi emisi rumah kaca. Pertama, menetapkan suatu batas yang tidak boleh dilewati oleh korporasi. Kedua, dengan memberlakukan pajak karbon. Ketiga, mengimplementasikan suatu skema perdagangan karbon untuk menciptakan pasar karbon atau yang biasa dikenal dengan perdagangan karbon. Perdagangan karbon merupakan sebuah mekanisme perdagangan mengenai penjualan dan pembelian sertifikat dari pengurangan karbon. Perdagangan ini merupakan suatu transaksi jual beli atas pengeluaran dari gas rumah kaca atau karbon dioksida.
Pada prinsipnya, konsep ini tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan transaksi perdagangan pada umumnya. Bedanya dalam hal ini yang menjadi komoditas untuk diperjualbelikan adalah emisi karbon. Sederhananya, pihak yang mengeluarkan gas emisi dalam jumlah tertentu perlu membayar kepada pihak yang berusaha untuk mengurangi dampak dari emisi tersebut. Pihak yang membeli emisi karbon biasanya adalah negara maju atau industri besar. Hal ini menunjukkan pembeli bisa berasal dari perusahaan, organisasi, maupun negara. Selanjutnya, negara yang memiliki dataran hutan yang luas dapat menjadi pihak yang menjual sertifikat atas pembelian emisi karbon karena hutannya dapat menjadi penyerap karbon dioksida untuk memberikan keseimbangan pada bumi.
Merujuk pada pengaturannya di Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 (Perpres 98/2021) menyatakan bahwa perdagangan karbon adalah salah satu mekanisme pasar yang digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui transaksi jual beli kredit karbon di tingkat Internasional. Perdagangan karbon telah diatur melalui Protokol Kyoto dan Paris Agreement yang memberi hak kepada negara-negara untuk berkontribusi dalam jual beli karbon. Tindak lanjut dengan adanya Perpres tersebut, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 (POJK 14/2023) dijelaskan bahwa perdagangan karbon merupakan mekanisme pasar yang tepat dalam mengurangi gas rumah kaca melalui transaksi kredit karbon. Kredit karbon dalam POJK Tahun 2023 diartikan sebagai bukti kepemilikan 1 ton karbon dioksida dalam bentuk sertifikat dan pencatatannya ada di dalam Sistem Registrasi Nasional Pengendalian perubahan Iklim (SRN PPI).
Lahirnya Perdagangan Karbon sebagai Upaya Pelestarian Bumi
Konsep perdagangan karbon pertama kali dibicarakan dalam Protokol Kyoto pada tahun 1997. Perjanjian internasional ini bertujuan untuk mencari solusi pengurangan emisi gas rumah kaca di bumi. Di dalamnya, negara-negara industri yang terdaftar dalam Annex I (lampiran I) protokol diwajibkan untuk mengurangi emisi mereka dan diberikan target pengurangan yang spesifik. Namun, perjanjian ini juga mengizinkan negara-negara tersebut untuk memperoleh carbon credit melalui proyek-proyek pengurangan emisi di negara lain. Protokol ini terus berlaku sampai digantikan dengan Perjanjian Paris atau Paris Agreement 2015. Dalam perjanjian itu, disepakati sebuah pembagian di mana kelompok negara maju sebagai pihak yang wajib menurunkan emisi dan negara berkembang sebagai pihak yang tidak wajib. Dengan ini, pada tahun 2030 nanti kenaikan suhu di atmosfer diprediksi bisa dihindari.
Peluang perdagangan karbon dalam Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Emisi
Keunggulan utama dari perdagangan karbon adalah menggabungkan kepentingan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan emisi karbon menjadi ke dalam satu konsep. Di Indonesia, penerapan proyek mitigasi gas rumah kaca di Indonesia melalui Clean Development Mechanism (CDM) sebagai salah satu mekanisme fleksibel di negara Non-Anex I seperti Indonesia untuk berperan aktif dalam pengurangan emisi sesuai Protokol Kyoto. Kemudian, perdagangan karbon melalui implementasi proyek CDM juga dapat meningkatkan kehidupan ekonomi. Di sisi lain, dengan adanya perdagangan karbon ini, pemerintah juga menganggap bahwa perdagangan karbon menjadi alternatif yang lebih praktis dan mudah dibandingkan dengan regulasi yang secara langsung membatasi dan mengenakan pajak pada emisi karbon. Sedangkan bagi korporasi, perdagangan karbon dapat mendorong penggunaan energi terbarukan, memberikan kesempatan untuk membeli kredit karbon sebagai kompensasi untuk emisi yang lebih tinggi, dan memungkinkan untuk mencapai tingkat “emisi karbon nol bersih”. Dengan begitu, perdagangan karbon yang disertai dengan ketepatan kebijakan dapat menjadikan Indonesia memiliki kesempatan yang cukup besar untuk tidak hanya berkontribusi terdapat pengurangan emisi gas rumah kaca, tetapi juga memperkuat perekonomian secara keseluruhan.
Pengembangan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan tertentu menunjukkan komitmen serius mereka dalam menciptakan dampak positif. Selain nantinya dapat berhasil mengurangi dampak lingkungan melalui penurunan emisi, langkah ini juga membuka peluang bisnis baru melalui perdagangan karbon. Pendapatan yang diperoleh dari bisnis perdagangan karbon dapat memperkuat ketahanan dan fleksibilitas keuangan perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa suatu keberlanjutan, kesuksesan, dan penurunan emisi dapat berjalan secara bersamaan.
Siapa yang sebetulnya diuntungkan?
Terdapat beberapa kepentingan di dalam konsep perdagangan karbon ini. Kepentingan-kepentingan tersebut tentu menimbulkan penolakan yang menekankan pada betapa buruknya dampak yang diakibatkan dari perdagangan karbon. Beberapa pihak menganggap bawah kredit karbon hanyalah bisnis yang pada dasarnya merupakan sertifikat izin untuk melakukan pencemaran lingkungan. Selain itu, kredit karbon yang merupakan hasil dari perdagangan karbon hanyalah suatu produk penipuan investasi baru karena resiko perdagangan ini cukup tinggi dan sulit untuk dilakukan kontrol terhadapnya. Berbagai pandangan mengenai konsep perdagangan karbon untuk menangani perubahan iklim menjadi kegaduhan bagi pihak yang terlibat langsung di dalamnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menolak dengan tegas perdagangan karbon menjadi solusi dalam mengatasi krisis iklim. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan menyebut perdagangan karbon dalam hal ini sebagai jalan yang sesat. Bagi WALHI, perdagangan tersebut hanyalah upaya mempertahankan rezim industri ekstraktif yang kenyataannya justru menjadi penyebab utama perubahan iklim. Finalisasi alam dan greenwashing pun dinilai akan menyebabkan masyarakat mengalami penggusuran dan hidup dalam keterancaman akibat konflik agraria.
Kemudian, sejak pertama kali dibahas dalam Protokol Kyoto, pelaksanaan perdagangan karbon sejatinya telah mendapatkan berbagai kritik dari berbagai negara di dunia. Kritik-kritik ini berkaitan dengan pembagian kelompok negara maju sebagai pihak yang wajib menurunkan emisi dan negara berkembang sebagai pihak yang tidak wajib menyebabkan munculnya perdebatan baru. Negara-negara maju berpendapat bahwa perdagangan karbon dapat meningkatkan pendanaan atau investasi iklim di negara-negara di berkembang. Namun, ketidaksetaraan dan kesenjangan kapasitas antara negara-negara maju dan berkembang dalam mencapai keberlanjutan masih menjadi suatu kekhawatiran tersendiri. Hal tersebut tentu berdasar pada peristiwa yang terjadi di masa lalu, yakni kolonialisme dan eksploitasi sumber daya alam. Pada akhirnya, bagi mereka perdagangan ini hanyalah ‘alat’ pengalihan atas isu utama dari lingkungan itu sendiri, yaitu perubahan iklim dan pemanasan global.
Siapkah Indonesia Hadapi Emisi Karbon?
..
Pengelolaan perdagangan karbon dalam konteks Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang sesuai dengan manfaatnya merupakan sebuah potensi ekonomi karbon di Indonesia melalui perdagangan karbon khususnya di area konsesi hutan. Hal ini karena NEK sendiri memiliki peran untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dengan melibatkan upaya pengurangan emisi, konservasi hutan, serta melibatkan partisipasi dari masyarakat lokal untuk mencegah deforestasi. Dalam menjaga manfaat NEK untuk kepentingan publik, terdapat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres 98/2021). Kendati demikian, para pengusaha dan sekutunya justru menginginkan agar karbon dapat diperdagangkan secara sukarela dan bebas tanpa mematuhi aturan perundang-undangan.
Dengan adanya permasalahan terkait revisi Perpres 98/2021, pemerintah secara tidak langsung melanggar Pasal 33 UUD 1945 tentang memanfaatkan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Pihak yang menginginkan revisi ini beranggapan bahwa dengan dibekukan dan dicabutnya izin proyek karbon serta pelarangan perdagangan karbon secara sukarela, dapat menyebabkan dampak yang signifikan terhadap kegiatan investasi di Indonesia sehingga mereka melihat bahwa ketentuan tersebut diberlakukan kembali. Hal ini mengingat selama belum diatur di Indonesia, transaksi karbon bisa secara bebas dilakukan tanpa pengaturan.
Perdagangan karbon sendiri dapat menjadikan para petinggi berpihak pada pelanggaran konstitusi, apalagi kondisi ekonomi tidak sedang stabil. Sebagaimana yang kita ketahui karbon merupakan sisa dari sumber daya alam Indonesia yang kita miliki dan tentunya harus dikuasai oleh negara, bukan oleh pihak lain yang hanya mementingkan investasi semata. Selama ini, sumber daya penting, seperti kayu, minyak, mineral, dan gas bumi belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi bangsa ini sehingga sumber daya yang masih tersisa benar-benar harus dikelola dengan baik oleh pemerintah atas nama negara.
Di sisi lain, Indonesia sudah berhasil dalam menekan laju deforestasi pada tahun 2016/2017 dan telah diakui oleh dunia tas turunnya emisi gas rumah kaca dan menerima pembayaran hasil kerja yang dananya akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup tanpa perlu membentuk badan lainnya, yang berupa Badan Pengelola Ekonomi Karbon. Penerapan tata kelola karbon yang efektif sendiri krusial untuk mengarahkan aksi iklim dan NEK untuk kepentingan nasional. Penerapan sembarangan offset karbon hutan dapat menyebabkan pengurangan kawasan hutan yang tidak terkendali maka berpotensi hilangnya kawasan negara dan hilangnya kewenangan regulasi akibat kontrak swasta atas perjanjian dagang karbon.
Kesimpulan
Perdagangan karbon memang merupakan suatu tawaran solusi yang menarik dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan berpotensi menghasilkan keuntungan besar. Namun, sistem ini menimbulkan suatu dilema yang besar dan tentunya tanda tanya besar akan pihak manakah yang sebenarnya diuntungkan dengan perdagangan ini. Perdagangan karbon mungkin seakan menjadi suatu solusi cepat dan tepat bagi berbagai pihak, tetapi pada akhirnya, klaim bahwa perdagangan karbon hanya menguntungkan bagi segelintir pihak benar adanya sebab terdapat pihak yang menganggap bahwa perdagangan karbon hanyalah sebatas bisnis semata. Oleh karena itu, apabila tidak dikelola dengan tepat, perdagangan karbon justru akan menimbulkan risiko yang berdampak negatif bagi masyarakat Indonesia alih-alih memberikan manfaat untuk mengurangi emisi karbon.