Oleh: Fahda Ishaq Putri
Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI
Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara seringkali berakhir pada status penolakan seluruhnya. Beberapa alasan diantaranya adalah tidak dapat diterima dengan landasan penolakan bahwa permohonan provisi dan pokok permohonan para pemohon tidak memiliki alasan hukum. Walaupun telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara menjadi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) dengan rincian penghapusan dan perubahan terhadap unsur pasal-pasal tertentu, tetapi perubahan tersebut dianggap kurang merepresentasikan kritik yang disampaikan oleh pakar hukum hingga masyarakat sipil terhadap peraturan perundang-undangan tersebut.
Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) menjadi salah satu pihak pemohon yang turut mengajukan permohonan judicial review terhadap UU IKN yang dianggap cacat secara formil dalam proses pembentukannya. Proses pembentukan UU IKN tersebut ditengarai telah menyeleweng dari materi muatan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 (UU P3), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Tertib. Permohonan yang diajukan oleh PNKN tersebut memfokuskan untuk mengkritisi perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan UU IKN yang tidak mengindahkan asas kejelasan tujuan, asas kesesuaian antara jenis, hirarki, materi buatan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan asas keterbukaan yang sebagaimana semestinya.
Penjelasan diatas merujuk pada ketiadaan perencanaan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang melewati proses perencanaan yang berkesinambungan dengan dokumen perencanaan pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Sebab pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tidak terdapat rumusan bahwa Ibu Kota Nusantara akan menggantikan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, kemudian secara tiba-tiba muncul rencana perpindahan Ibu Kota Negara yang terlampir dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. Padahal, rincian perumusan pembangunan perencanaan pembentukan IKN pada tahun 2020 hingga tahun 2024 terdahulu tidak ditemukan skema anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara pada RPJMN. Hal ini menyimpulkan adanya inkonsistensi pada asas kejelasan tujuan dalam perumusan pembangunan Ibu Kota Negara yang sebagaimana seharusnya ditaati karena telah diatur dalam pasal 5 huruf (a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Tidak hanya itu, asas kesesuaian jenis, hirarki, dan materi muatan dalam UU IKN juga tidak terpenuhi seutuhnya melihat adanya pasal-pasal yang mendelegasikan hal-hal terkait dengan rencana induk, struktur organisasi, wewenang otorita, pemetaan wilayah, proses perpindahan Lembaga Negara dan Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pendanaan yang seharusnya hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan pusat dan peraturan pelaksana.
Lebih lanjut, terdapat asas dapat dilakukan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas keterbukaan yang turut bertentangan selama penyusunan hingga pengesahan UU IKN. Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya representasi masyarakat terdampak penyusunan terhadap pertimbangan untuk undang-undang ini dari segi filosofis, sosiologis dan yuridis. Tidak hanya itu, pembentukan dan pembahasan undang-undang ini sempat beberapa kali tidak memenuhi asas keterbukaan informasi kepada masyarakat luas yang dimana DPR mempersempit hingga menutup gerbang partisipasi publik sebab saat proses pembentukan UU IKN sebab pembahasan RUU yang terdiri dari 28 agenda, hanya dapat diakses masyarakat umum sebanyak 7 agenda, sementara 21 agenda lainnya tidak dapat diakses. Pembentukan UU IKN kurang memperhatikan aspek efektivitas keberlanjutan kehidupan masyarakat sekitar manakala seharusnya partisipasi masyarakat terdampak menjadi suatu hal krusial yang perlu dipertimbangkan, utamanya mengenai peralihan tanah hak ulayat maupun tanah pribadi yang kemudian digunakan sebagai kawasan wilayah baru IKN. Bahkan, terdapat hasil survei Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada tahun 2019 yang menjabarkan bahwa terdapat 61,9% dari 96 orang tidak setuju terhadap pemindahan ibu kota karena dianggap menjadi salah satu upaya pemborosan anggaran negara dan dianggap kurang strategis dalam penempatan wilayahnya. Tak hanya itu, Rizky Argama selaku Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) juga menyebutkan bahwa proses pembentukan UU IKN beserta perubahannya sangat jauh dari praktik ketertiban perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang P3 dan tidak mengedepankan prinsip good regulatory practices. Prinsip tersebut merupakan prinsip yang menjadi rujukan para pembentuk dan penyusun UU dalam merumuskan sebuah RUU agar dapat dipastikan kualitas regulasi, manfaat, kepastian, dan keadilannya bagi warga negara. Menurut Rizky Argama, prinsip ini dinilai telah dikesampingkan. Akibat dari penyimpangan atas principles of good regulatory practices tersebut, timbul kekhawatiran masyarakat terhadap UU IKN yang dianggap akan menjadi salah satu produk hukum berupa peraturan perundang-undangan lainnya yang nantinya tidak lagi mengindahkan partisipasi publik dalam penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan membuat rancangan yang dititik beratkan hanya kepada para pemangku kepentingan semata.
Tahap penyusunan hingga pengesahan UU IKN kerap menyimpan tanya, apakah sistem demokrasi tersebut hanyalah sebagai suatu bentuk formalitas semata untuk menjalankan suatu negara? Mengingat, Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem demokrasi Pancasila. Penyimpangan formil terhadap proses pengundangan hingga penyimpangan materiil pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Ibu Kota Negara menjadi pertentangan yang mengundang banyak kritik massa akademisi dan sipil. Pemberian otoritas bagi pemerintah pusat untuk mengatur hal-hal yang seharusnya menjadi otoritas dari pemerintah daerah juga kerap menyimpang misteri tanya, “Kepentingan pemerintah pusat apa yang sedang dikejar hingga dominasi wilayah daerah pun tidak lagi sesuai dengan struktur pemberian otoritas yang sebagaimana mestinya? Apakah ada kepentingan politik yang mendahului?”
Upaya untuk menghadirkan transformasi infrastruktur dan pembangunan nasional menyimpan tantangan besar yang berkaitan dengan ketidakefektifan regulasi predatoris yang mengatur proses pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke kawasan Kalimantan Timur yang menabrak asas formil hingga materiil perundang-undangan lainnya. Adapun peraturan perundang-undangan yang menjadi persyaratan formil hingga materiil dalam pembuatan hingga pengesahan UU IKN yang dilanggar yaitu Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Proses pengundangan UU IKN yang terhitung cepat untuk membahas pemindahan Ibu Kota Negara dan minimnya partisipasi serta kurangnya transparansi masyarakat setempat dan masyarakat luas menjadi salah satu dasar keberatan hukum yang diajukan para pemohon untuk segera dilakukan judicial review.
Adapun struktur daerah IKN memiliki konsep ketatanegaraan bagian kedaerahan yang baru, sebab kepala pemerintah daerah di wilayah IKN tidak lagi disebut sebagai Gubernur, akan tetapi disebut sebagai Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 (UU IKN) yang menyatakan bahwa “Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara adalah kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.” Selain itu muatan yang selaras pun tercantum dalam Pasal 5 ayat (4) UU IKN yaitu
“Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.”
Pemilihan kepala otorita Ibu Kota Nusantara tidak lagi mengindahkan pemilihan secara demokratis, namun karena suatu pengkhususan Presiden yang berkonsultasi dengan DPR lah yang dapat menentukan Kepala OIKN tersebut. Jabatan Kepala OIKN yang dikatakan setingkat menteri juga kerap dipertanyakan hingga saat ini. Hal ini kontras dengan Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa batasan suatu provinsi, kabupaten dan kota dalam mengatur pemerintahannya ialah berdasar pada asas otonomi dan tugas pembantuan, juga pemilihan kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota seharusnya dipilih secara demokratis.
Melihat uraian di atas dapat membuka mata bahwa terdapat pelanggaran formil dalam proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan UU IKN. Prosesnya tidak mengindahkan asas kejelasan tujuan, asas kesesuaian antara jenis, hirarki, materi buatan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan asas keterbukaan yang sebagaimana semestinya yang dilakukan bidang legislatif dalam mengundangkan suatu produk hukum berkekuatan tetap yang dipengaruhi adanya konstelasi politik berlangsung hingga pembangunan seringkali terjebak di antara kehendak para pemilik kekuasaan beserta antek-antek asing yang turut menjadi investor di Ibu Kota Nusantara. Pengaruh dari pihak dalam maupun luar negeri, dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang seharusnya didasarkan pada kepentingan nasional dan keadilan. Konflik kepentingan dan intervensi eksternal dapat mengakibatkan terjadinya distorsi dalam proses pengambilan keputusan, yang pada akhirnya dapat merugikan kepentingan rakyat dan mengganggu stabilitas sosial-politik.
Koalisi berisi masyarakat Kalimantan Timur yang tergabung dalam lembaga aktivitas lingkungan menyatakan bahwa UU IKN telah menjadi ancaman ruang hidup masyarakat sekaligus satwa liar sekitar. Hal ini dikarenakan peninjauan yang dilakukan terhadap regulasi ini dikhawatirkan hanya menjadi sarana kepentingan politik tanpa meninjau aspek sosial lainnya. Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga turut menilai adanya UU IKN yang menghalalkan pemberian Hak Guna Usaha yang dapat berlaku hingga 190 tahun serta Hak Guna Bangunan yang juga dapat berlaku hingga 160 tahun seperti yang tercantum di pasal 9 ayat (2) huruf a, b dan c pada Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 Tentang Percepatan pembangunan Ibu Kota Nusantara. Hal ini berbeda dengan pasal 28 hingga pasal 40 pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menjelaskan bahwa pemberian Hak Guna Usaha ialah maksimal selama 35 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 25 tahun bila memenuhi syarat serta pemberian Hak Guna Bangunan ialah maksimal 30 tahun dan bisa diperpanjang maksimal 20 tahun. Hal tersebut terlihat seperti suatu usaha untuk memantik minat bagi para calon investor agar dapat membantu pelunasan proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara yang diketahui mencapai 500 triliun rupiah.
Menurutnya, pembangunan Ibu Kota Nusantara yang sering absen dari pemenuhan serta pemulihan hak atas tanah masyarakat setempat memberi bukti bahwa pemerintah serta para elit politik lainnya telah gelap mata mengurusi permasalahan investasi sehingga dapat berjalan lancar meskipun telah mengabaikan berbagai prinsip fundamental, baik yang telah diatur dalam regulasi terkait hingga membuat regulasi baru yang dapat memenuhi kepentingan kelompok terkait saja. Tak hanya itu, kemudahan pemberian izin dan pemfasilitasan kepada para investor yang tercantum dalam Pasal 12 ayat (2) UU IKN 2023 yang menyatakan bahwa,
“Kekhususan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk antara lain kewenangan pemberian perizinan investasi, kemudahan berusaha, serta pemberian fasilitas khusus kepada pihak yang mendukung pembiayaan dalam rangka kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta pengembangan Ibu Kota Nusantara dan daerah mitra Ibu Kota Nusantara.”
Yang memberi kesimpulan bahwa tanah di Kalimantan Timur telah di obral pemerintah kepada para calon tuan tanah yang berakibat pada pendiskriminasian hak-hak para masyarakat hukum adat, petani, nelayan, buruh serta kelompok marginal lainnya.
Jika dilakukan perbandingan antara Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Ibu Kota Negara dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang memuat hal-hal terhadap penjaminan atas otoritas dan kewenangan Kesultanan di Yogyakarta ialah memang betul terdapat pengkhususan yang diberikan pemerintah pusat terhadap pemerintahan yang berjalan di daerah Yogyakarta dan tertera di Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Namun, pengkhususan tersebut tetap memenuhi unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis serta asas kejelasan tujuan, keterbukaan, kejelasan rumusan, dapat dilaksanakan dan lainnya yang tertera dalam penyusunan hingga pengesahan peraturan perundang-undangan juga tidak bertentangan dengan pasal yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Lebih dari itu, terdapat pula segudang kewenangan khusus baru yang tertera dalam UU IKN dan belum pernah ditemukan di peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah khusus lainnya seperti Banda Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Diantaranya yaitu, terdapat pemberian izin terhadap penanaman modal lokal, pemberian fasilitas khusus bagi para pihak investor yang mendukung persiapan, pembangunan dan pemindahan ibu kota, kewenangan untuk mengelola keuangan dan aset, mengatur serta memungut sendiri pajak daerah, mengatur pengadaan penguasaan tanah, serta melaksanakan pertahanan dan keamanan melalui Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Rencana Strategis Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara. Peninjauan yang dilakukan oleh segelintir masyarakat terhadap UU IKN berpendapat bahwa regulasi berkekuatan hukum tetap tersebut mencerminkan diskresi tak terbatas terhadap suatu tanggung jawab atas kewenangan kepala OIKN yang juga dikhawatirkan akan menciptakan suatu tatanan baru dalam sistem pemerintahan daerah yang minus nilai demokrasi.
Terjadi ketidakjelasan konstitusional akibat adanya distorsi partisipasi politik dan tidak terawasinya dengan baik suatu urusan ketatanegaraan dapat menjadi pemicu terjadinya tindakan sewenang-wenang oleh para pemangku jabatan di Ibu Kota Nusantara. Pemberian putusan sepihak dalam menentukan arah pembangunan Ibu Kota Nusantara oleh pemerintah pusat sebagai pihak tunggal hingga saat ini menyimpan beribu tanya atas pembebasan OIKN untuk mengurus urusan publik di daerahnya yang dapat memicu timbulnya dominasi kelompok tertentu. Lebih dari sekedar melanggar principles of good regulatory practice dan kecacatan formil lainnya, UU IKN juga telah mengabaikan substansi materi muatannya yang dijadikan sebagai pedoman melangsungkan pemerintahan di wilayah tersebut.
Terlihat pada pasal 42 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2023 tentang IKN yang menegaskan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan kebijakan pelaksanaan pembangunan, pemerataan, persiapan, hingga penyelenggaraan Ibu Kota Nusantara dinyatakan tidak berlaku. Pasal tersebut memperlihatkan secara terang-terangan bahwa terjadi peristiwa abuse of process yang melegalkan adanya produk peraturan perundang-undangan yang tidak mengindahkan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain abuse of process, pasal tersebut juga dinilai cacat secara muatan materil. Tidak hanya itu, juga diketahui bahwa dari total 44 pasal pada UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN, terdapat 13 poin pendelegasian kewenangan pengaturannya dan dianggap telah melewati batasan seharusnya, yang dimana poin-poin tersebut menjelaskan adanya pemberian kewenangan berlebih kepada Kepala OIKN Nusantara, lebih dari otoritas yang diberikan kepada daerah khusus atau daerah istimewa lainnya.
Pengesahan UU IKN yang dimulai dengan adanya penyusunan naskah akademik yang mencakup landasan filosofis, sosiologis dan yuridis terlebih dahulu kini turut dipertanyakan sebab pembahasannya dianggap masih sangat dangkal, bahkan hanya terkesan berisi poin-poin tujuan pembentukan UU IKN saja. Selain itu, peran DPR selaku bidang legislatif harusnya lebih jeli saat pembahasan mengenai UU IKN ini, mengungkapkan keharusan dan ketaatan prosedur hukum yang harus diikuti jika ingin menerbitkan suatu produk hukum baru serta tidak membiarkan adanya intervensi maupun tekanan dari pihak luar yang dapat menyebabkan cacatnya produk hukum legislatif tersebut. Tidak sedikit pihak yang melontarkan kekecewaannya terhadap keguncangan konstitusi yang meloloskan produk cacat hukum dan terkesan menelantarkan masyarakat terdampak.
Melihat urgensi ketidakstabilan negara yang disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Ibu Kota Negara yaitu UU No. 3 Tahun 2022 dan UU No. 21 Tahun 2023, perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat mengembalikan stabilitas pemerintahan dan sistem demokrasi bangsa. Antara lain yaitu mendesak pihak pemerintah serta lembaga legislatif, yaitu DPR untuk tidak menutup mata terhadap kesalahan saat terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam isi, penyusunan, pembentukan hingga pengesahan suatu produk perundang-undangan negara. Hal ini dikarenakan, DPR yang bertugas sebagai wakil rakyat yang memberi pertimbangan, turut menyusun bersama Presiden dan mengesahkan produk hukum tersebut diharapkan tetap netral agar dapat menjaga ketertiban atas prinsip good regulatory practices, menyanggupi konsep check and balances, serta mengedepankan logika hukum yang tidak menimbulkan kontroversi dalam penyelenggaraan negara. Diharapkan juga adanya totalitas partisipasi masyarakat dalam pembentukan serta penyusunan naskah UU IKN dan jangka waktu yang panjang sehingga pertimbangan yang dilakukan dapat mencakup seluruh masukan, saran hingga keputusan yang diambil dapat berupa keputusan matang yang tidak menyalahi aturan dan meminimalisir tendensi kerugian.
Bentrok antar bidang politik hukum dalam menentukan kebijakan negara yang mengandung cita, harapan dan ide jangka pendek serta jangka panjang, bidang ekonomi yang memegang tombak kesejahteraan IKN dalam penyelenggaraannya, kesejahteraan masyarakat dalam skala kecil mencakup masyarakat yang terdampak dari pembangunan hingga skala besar yang mencakup WNI dan penduduk yang bertempat tinggal di Indonesia, hingga HAM yang seharusnya dipegang teguh dan dipastikan untuk dilaksanakan seadil-adilnya perlu dipertimbangkan dengan seksama mengingat untuk menjalankan pemerintahan suatu daerah khusus, tujuan utama tidak hanya berfokus pada infrastruktur semata, namun juga berfokus pada dampak jangka panjang dari skenario utama yang telah dibuat pemerintah pusat sewaktu merancang perpindahan Ibu Kota Negara ke daerah Kalimantan Timur. Segala bentuk kepentingan pribadi, kelompok, politik pemerintahan, hingga golongan elit perlu dikesampingkan, sebab egois berlebih dapat memberi dampak buruk kepada masyarakat dan lingkungan sekitar yang akan tereksploitasi secara besar-besaran juga berdampak buruk untuk penyelenggaraan sistem demokrasi dan tata penyelenggaran pemerintah Indonesia. Sehingga diharapkan, pemindahan Ibu Kota Negara tersebut dapat dipandang positif dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat selama penyelenggaraan dan pembentukan regulasinya tidak menyalahi aturan dan tidak menyampingkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di Indonesia.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945, selanjutnya disebut UUD 1945.
Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun 1960, LN Tahun 1960 No. 104 TLN No. 2043.
Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 12 Tahun 2011, LN Tahun 2011 No. 82 TLN No. 5234.
Undang-Undang Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, UU Nomor 13 Tahun 2012, LN Tahun 2013 No. 170 TLN No. 5339.
Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara, UU Nomor 3 Tahun 2022, LN Tahun 2022 No. 41 TLN No. 6766.
Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara, UU Nomor 21 Tahun 2023, LN Tahun 2023 No. 142 TLN No. 6898.
Peraturan Presiden Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020, LN Tahun 2020 No.10.
Peraturan Presiden Tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara, PerPres Nomor 75 Tahun 2024, LN Tahun 2024 No. 133.
PUTUSAN PENGADILAN
Mahkamah Konstitusi. Putusan No.25/PUU-XX/2022. Poros Nasional Kedaulatan Negara. (Pemohon) (2020).
LEMBAGA DAN ORGANISASI
Association of Southeast Asian Nations. ASEAN Guidelines on Good Regulatory Practices. PTB: Association of Southeast Asian Nations, 2019.
BUKU
Fuady, Munir. Sosiologi Hukum Kontemporer “Interaksi Hukum, Kekuasaan dan Masyarakat. (Jakarta: Kencana, 2011).
JURNAL
Benia, Elsa dan Ghina Nabilah. “Politik Hukum dalam Proses Pemindahan Ibu Kota Negara Melalui Pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN).” Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol. 3. No. 10. Hlm. 806-825.
Fadillah, Nor. “Tinjauan Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja dalam Undang-Undang Ibu Kota Negara .” Jurnal Kajian Ilmu Hukum. Vol. 11 No. 1 (2022). Hlm. 45-65.
Musu, Clara Amanda. Et al. “Undang-Undang Ibu Kota Negara Baru: Perdebatan Kecacatan Formil dan Materiil pada Aturannya.” Jurnal IBLAM Law Review. Vol. 2 No.2 (2022). Hlm. 79-97.
Seta, Salahudin Tunjung. “Hak Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan.” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 17. No. 1 2 (2020).
INTERNET
Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia. “Survei KedaiKOPI: 96,7% Masyarakat Jakarta Tak Setuju Pindah Ibu Kota.” Databoks Katadata. 28 Agustus 2019. Tersedia pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/28/survei-kedaikopi-967-masyarakat-jakarta-tak- setuju-pindah-ibu-kota. Diakses pada tanggal 30 April 2024.
Thea AD, Ady. “PSHK:UU IKN Bentuk Kesewenang-Wenangan Kuasa Legislasi Pemerintah-DPR.” Hukum Online. 18 Oktober 2023. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/pshk-uu-ikn-bentuk-kesewenang-wenangan-kuasa-legislasi-pemerintah-dpr-lt652fb62c7d906/?page=all. Diakses pada tanggal 1 Mei 2024.
Thea AD, Ady. “UU IKN Terbaru Dinilai Obral Tanah Melalui HGU Sampai 190 Tahun.” Hukumonline.com. 11 Oktober 2023. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/uu-ikn-terbaru-dinilai-obral-tanah-melalui-hgu-sampai-190-tahun-lt65265117a1d2a/?page=all. Diakses pada tanggal 10 Mei 2024.
WALHI. “UU IKN Ingkari Konstitusi: Rakyat Minta Pembatalan Lewat Judicial Review.” Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 1 April 2022. Tersedia pada https://www.walhi.or.id/uu-ikn-ingkari-konstitusi-rakyat-minta-pembatalan-lewat-judicial-review. Diakses pada tanggal 1 Mei 2024.
Watmadiharja, Suparman. “Cacat Formil, UU IKN Digugat Para Pakar Ke MK Tak Merepresentasikan Asas Keterbukaan Publik.” Bisnis Bandung. 10 Maret 2022. Tersedia pada https://www.bisnisbandung.com/nasional/pr-3982946299/cacat-formil-uu-ikn-digugat-. Diakses pada tanggal 30 April 2024.