JAKSA MEMINTA BANDING: TUNTUT HUKUMAN MATI BAGI TEDDY MINAHASA

Oleh: Saniyyah Defarianty
Staff Biro Jurnalistik LK2 FHUI 2023

Mantan Kapolda Sumatera Barat, Inspektur Jenderal Polisi Teddy Minahasa divonis tuntutan pidana penjara seumur hidup karena terbukti telah menjual barang sitaan narkotika jenis sabu dan memerintahkan bawahannya, yakni Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Dodi Prawiranegara untuk menukar narkotika jenis sabu tersebut dengan tawas. Sidang vonis Teddy Minahasa dilaksanakan pada tanggal 9 Mei 2023 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Vonis yang dijatuhkan hakim kepada Teddy Minahasa ini menuai kontroversi. Kontroversi ini timbul karena vonis yang dijatuhkan hakim berbeda dengan tuntutan  Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Teddy Minahasa untuk dijatuhkan pidana mati, sehingga JPU mengajukan banding terhadap vonis penjara seumur hidup yang dilayangkan hakim. Upaya banding yang diajukan JPU ini dapat menunjukkan keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana extraordinary crime yang juga dimana tindak pidana ini dilakukan oleh seorang aparat penegak hukum pula. Namun, pihak Teddy Minahasa menilai bahwa seakan-akan terdapat intervensi kepada JPU untuk menghilangkan nyawa kliennya. Hal ini disampaikan oleh Anthony Djono selaku kuasa hukum dari Teddy Minahasa yang merasa bahwa vonis seumur hidup yang dijatuhkan oleh hakim sudah merupakan hukuman yang berat, dengan demikian, timbulah sebuah pertanyaan, apakah upaya banding yang dilakukan oleh pihak JPU tidak berdasar dan hanya serta merta untuk membinasakan Teddy Minahasa?

Teddy Minahasa dituntut oleh JPU karena telah terbukti bersalah, yakni melanggar Pasal 114 ayat 2 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (BBC, 2023),  yaitu “mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan tanpa hak dan melawan hukum terbukti telah menawarkan narkotika untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan I bukan tanaman yang beratnya lebih dari 5 gram.” Teddy Minahasa  menjadi perantara dalam jual beli kasus narkotika ini melalui bawahannya dengan cara menyuruh bawahannya menukar alat bukti narkotika dengan tawas serta menjualnya, yakni Linda dan Dodi. Atas pasal tersebut, Teddy divonis oleh hakim dengan hukuman pidana penjara seumur hidup karena telah terbukti menjual narkotika jenis sabu.

Hakim PN Jakarta Barat, Jon Sarman Saragih, mengatakan bahwa terdapat hal yang meringankan dan memberatkan vonis Teddy.  Hal yang memberatkan hukuman hingga divonis hukuman penjara seumur hidup  antara lain, memberikan keterangan yang berbelit-belit, bersikap tidak jujur selama persidangan, dan tidak mencerminkan sikap bagian anggota kepolisian yang seharusnya memberantas narkoba (Kompas, 2023). Selama persidangan berlangsung, Teddy memberikan keterangan yang tidak jujur bahkan bersikap tidak sopan. Ia sempat menjawab pertanyaan hakim dengan nada yang lantang dan marah di persidangan. Selain itu, pada saat saksi ahli memberikan keterangan, Teddy menanggapi keterangan tersebut dengan tidak baik, yaitu dengan membentak serta memberikan tatapan tajam.  Sikap arogan sang mantan jenderal ini dinilai dapat menjadi bahan pertimbangan hakim untuk memberatkan  hukuman. Meskipun demikian, dalam sidang vonis, hakim mengatakan bahwa terdapat pertimbangan yang meringankan Teddy. Pertimbangan tersebut antara lain, bahwa ia belum pernah dijatuhi hukuman pidana selama hidupnya, ia sudah mengabdi di Polri selama 30 tahun, serta prestasi-prestasi Teddy lainnya selama ia menjabat di Polri ( Kompas.TV 2023).

Sementara itu, kasus ini  sudah diupayakan banding oleh pihak jaksa agar seperti tuntutan awal, yakni hukuman mati. Tidak puas dengan vonis yang dijatuhkan oleh hakim, pihak jaksa pada tanggal 12 Mei 2023 resmi mengajukan banding hukuman mati atas vonis hukuman seumur hidup yang dijatuhkan hakim di PN Jakarta Barat kemarin. Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno, pengajuan banding yang dilakukan jaksa kepada Teddy ialah “tak-tik” yang digunakan oleh jaksa karena ia melihat bahwa terdapat banyak celah dalam kasus Teddy ini yang bisa dimanfaatkan oleh jaksa, salah satunya ialah dengan mengajukan banding kepada vonis Linda dan Dodi sehingga tidak berkekuatan hukum tetap dan fakta-fakta dalam persidangan tersebut tidak dapat mengikat kasus Teddy (Jurnas.com, 2023). Pada sidang banding ini, hakim meminta jaksa untuk fokus kepada pembuktian terhadap kebenaran dan fakta-fakta selama di persidangan yang masih belum dapat terungkap, seperti penukaran sabu dengan tawas; apakah bukti chat tersebut asli; hingga darimana sabu tersebut berasal, sehingga jaksa tidak hanya menuntut berdasarkan keterangan saksi saja (Medcom.id).

Anthony Djono merasa upaya hukum banding yang diajukan jaksa terkesan diskriminatif, lantaran pihak JPU tidak melakukan upaya banding terhadap Linda. Terlebih, beliau juga menyatakan bahwa perlakuan janggal ini sudah dapat dirasakan sejak awal proses penetapan tersangka. Dimana, penetapan Teddy sebagai tersangka dilakukan tanpa memenuhi syarat minimal alat bukti.

Jaksa tidak serta merta memberikan tuntutan seumur hidup tanpa alasan. Tuntutan yang dilontarkan jaksa ini terdapat dasar pemberat yang menjadi salah satu pertimbangan pihak jaksa dalam menuntut hukuman mati ke Teddy. Sebagai aparat penegak hukum yang sedang mengemban tugas, ia malah terlibat dalam kasus narkotika, terlebih ia menyandang status senagai jenderal di instansi Polri, sehingga upaya banding yang telah dilakukan jaksa ini merupakan langkah yang tepat. Walaupun vonis hakim dan tuntutan jaksa hanya berbeda satu tingkat, eksekusi hukuman tersebut tetaplah berbeda sehingga vonis hukuman mati ini dapat memperlihatkan keseriusan aparat penegak hukum dalam menghukum terdakwa yang telah melakukan tindak pidana yang tergolong extraordinary crime.