Investasi Family Office di Indonesia: Peluang Emas atau Bahaya Tersembunyi?

Oleh: Muhammad Naufal Darmadi

Staf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI 

 

Baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan, menyampaikan ketertarikan pemerintah untuk menerapkan konsep investasi family office bagi Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia. Kebijakan ini bertujuan untuk menarik dan menampung dana dari keluarga super kaya yang berasal dari berbagai tempat di dunia dengan cara memberikan mereka pembebasan pajak. Luhut juga menyampaikan  bahwa Presiden Joko Widodo telah menyetujui rencana tersebut. Tak lama setelahnya, Jokowi mengumpulkan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju dan kepala lembaga untuk membahas potensi skema investasi family office tersebut dalam rapat internal di Istana Negara di Jakarta. Orang-orang tersebut di antaranya adalah Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Suahasil Nazara selaku Wakil Menteri Keuangan, dan Mahendra Siregar selaku Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Rencana penerapan family office ini tentu menimbulkan pro dan kontra sehingga berujung pada suatu pertanyaan, apakah penerapan family office akan menjadi sebuah peluang emas bagi Indonesia atau menjadi suatu bahaya yang tersembunyi?

Apa itu Family Office?

Family office merupakan suatu firma penasihat pengelolaan kekayaan swasta yang melayani individu dengan kekayaan bersih tinggi. Family office memberikan kesempatan bagi kalangan ultrakaya di dunia untuk menyimpan dana di Indonesia. Sebagai balasan, pemilik dana itu wajib melakukan investasi pada proyek-proyek yang ada di Indonesia. Pemerintah sedang melakukan studi dengan pilihan family office di Bali dan Ibu Kota Nusantara. Bali dipertimbangkan sebagai salah satu destinasi karena memiliki dua kawasan ekonomi khusus (KEK). Sementara itu, opsi Ibu Kota Nusantara sejalan dengan rencana pemerintah membangun Nusantara Financial Center (NFC) di masa mendatang.

Family office memiliki sifat yang eksklusif dan tertutup sehingga membedakannya dengan manajer kekayaan (wealth manager) tradisional. Angka investasi dari satu keluarga dalam firma ini dapat mencapai lebih dari 100 juta dollar Amerika Serikat atau di atas sekitar Rp1,6 triliun. Sejumlah negara sebenarnya telah menerapkan konsep investasi ini di negaranya dan dapat dijadikan sebagai rujukan Indonesia dalam membentuk family offices. Negara-negara tersebut antara lain adalah Singapura, China, hingga Uni Arab Emirat (UAE). Di mana, Singapura sendiri telah memiliki lebih dari 1000 family office dan menjadi tempat bagi sebagian besar family office di Asia.

Pada bank-bank konvensional, nasabah yang memiliki saldo simpanan di atas 1 miliar pada umumnya memang akan dilayani secara khusus sebagai nasabah prioritas. Apabila saldo yang dimiliki lebih dari Rp25 miliar, pelayanan yang akan didapatkan akan lebih khusus lagi, yakni di desk private banking yang didampingi oleh konsultan perencana keuangan yang berpengalaman. Namun, aset-aset nasabah yang dikelola oleh bank tersebut tetap akan dikenakan pajak, baik pajak atas bunga maupun jenis pajak lainnya. Hal tersebut sangat berbeda dengan family office yang direncanakan pemerintah di mana orang-orang yang menginvestasikan kekayaannya tersebut tidak akan dikenakan pajak. Selain itu, di Singapura sendiri, family office tidak diharuskan terdaftar atau terlisensi oleh Otoritas Moneter Singapura (MAS). Hal tersebut disebabkan mereka tidak mengelola dana pihak ketiga.

Terbukanya Peluang Money Laundering

Meskipun digadang-gadang akan memberikan segudang manfaat bagi negara, rencana penerapan bentuk investasi family office ini tetap mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Salah satunya berasal dari Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira yang mengatakan bahwa rencana family office dan tax haven country di Indonesia perlu dipertimbangkan kembali. Dirinya menilai keberadaan hal demikian akan menimbulkan lebih banyak masalah karena kebijakan tersebut bertolak belakang dengan harapan masyarakat Indonesia untuk adanya pajak kekayaan. Dirinya juga menyampaikan bahwa kondisi Indonesia dinilai belum siap dengan keberadaan family office

Salah satu ciri wilayah yang cocok ditempati oleh  family office merupakan wilayah surga pajak atau wilayah dengan tarif pajak sangat rendah, seperti Gibraltar, Panama, dan Virgin Island. Ciri lain dari wilayah yang ideal bagi family office adalah memiliki kelengkapan infrastruktur keuangan, seperti Singapura dan Hong Kong. Dibandingkan dengan negara-negara yang disebutkan sebelumnya, Indonesia jelas masih memiliki berbagai kekurangan terutama terkait dengan infrastruktur keuangan.

Investasi family office juga memiliki celah kekurangan lainnya, yakni turut membuka peluang munculnya tindak pidana pencucian uang (money laundering). Pada saat instrumen investasi belum berjalan dengan baik, family office hanya akan menjadi sarana memutar uang yang dapat dimanfaatkan oleh golongan-golongan tertentu. Salah satu bukti nyatanya terjadi di negara tetangga kita, yakni Singapura. Pada Juli 2024, Singapura menangkap dan mendakwa sepuluh orang asing dalam penyelidikan perkara pencucian uang. Skema pencucian uang tersebut diduga dilakukan oleh sekelompok kriminal asal Tiongkok yang menyalurkan hasil perjudian online ke beberapa family office di Singapura. Dugaan tindak pidana pencucian uang ini muncul setelah pemerintah Singapura memperketat pemberian insentif pajak family office pada Desember 2023.

Peristiwa yang merupakan salah satu kasus pencucian uang terbesar di Singapura tersebut mengakibatkan aset senilai lebih dari 3 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp36 triliun disita meliputi properti mewah, emas batangan, tas, uang tunai, aset kripto, hingga mobil. Meski mereka telah dijatuhi hukuman, aset lainnya senilai lebih dari 2 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp24 triliun masih belum jelas. Kepolisian mengatakan bahwa aset-aset tersebut tercatat milik 17 warga negara asing lainnya yang masih berstatus buron dalam penyelidikan terkait kasus pencucian uang. Kasus pencucian uang family office di Singapura ini tentu menjadi sebuah sorotan besar terhadap kerentanan sistem keuangan suatu negara dan menimbulkan kekhawatiran atas regulasi terkait pengelolaan kekayaan (wealth management).

Penanggulangan oleh MAS

Menanggapi kasus pencucian uang tersebut, Pemerintah Singapura segera mencabut insentif pajak yang sebelumnya diberikan kepada family office terkait dan melakukan penyitaan aset yang jumlahnya melebihi insentif pajak yang telah diberikan kepada mereka. Selain memberikan sanksi tersebut, Pemerintah Singapura juga melakukan intensifikasi pengawasan terhadap lembaga-lembaga keuangan yang terlibat dalam operasi pencucian uang. Lembaga-lembaga seperti Citigroup dan DBS yang secara tidak langsung dan tidak sengaja terlibat dalam proses transaksi terlarang tersebut, diketahui telah memperkuat proses uji tuntas mereka. Bankir-bankirnya pun telah menjalani pelatihan tambahan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mendeteksi dan mencegah penyalahgunaan serupa di masa depan. 

Selanjutnya, MAS juga telah meningkatkan kerangka peraturannya untuk memastikan bahwa family office dan lembaga lain yang menerima insentif pajak mematuhi standar kepatuhan secara ketat, termasuk audit rutin dan peningkatan persyaratan pelaporan untuk mengurangi risiko kejahatan keuangan yang menyusup ke sektor keuangan. MAS juga meningkatkan kolaborasi dengan mitra internasional demi memperkuat kerangka kerja pencegahan kejahatan keuangan.

Penerapan Family Office di Indonesia

Berkaca dari Singapura, Indonesia perlu merencanakan dan mengatur regulasi dengan baik dalam menerapkan family office. Hal ini dilakukan demi menghindari terjadinya risiko-risiko dari family office di masa mendatang. Indonesia dapat mencontoh Singapura untuk memperketat pemberian insentif pajak pada family office terkait. Lembaga-lembaga negara, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kementerian, dan lainnya wajib menerapkan langkah-langkah regulasi yang ketat meliputi pemantauan ketat terhadap transaksi keuangan, peningkatan persyaratan uji tuntas, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga berisiko tinggi seperti family office. Selain itu, Singapura juga melakukan penutupan terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak aktif demi menghindari adanya aliran uang gelap.

Perlu diingat, hal mendasar yang menjadikan suatu tempat layak dimasuki family office adalah kemampuan institusi dan ekosistem keuangan  yang dapat dipercaya, stabil, dan bebas dari intervensi politik. Pemberian insentif bebas pajak juga bukanlah satu-satunya jalan untuk meningkatkan daya tarik kalangan super kaya. Indonesia perlu memperbaiki kemampuannya dalam menempatkan aset dan membangun ekosistem keuangan yang kokoh. Selain itu, penempatan dana family office juga harus didukung oleh pengelola dana investasi dengan skala global.

Kesimpulan

Investasi dalam bentuk family office memang mampu memberikan segudang keuntungan bagi Indonesia karena dana-dana yang diterima dapat diinvestasikan ke dalam berbagai proyek penting nasional. Namun, pemerintah harus memastikan bahwa Indonesia memang benar-benar siap untuk menerapkannya. Permasalahan dasar termasuk kemampuan institusi negara, kepercayaan terhadap ekosistem keuangan di Indonesia, hingga pemberantasan korupsi harus menjadi perhatian utama Indonesia. Selain itu, perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan terjadinya tindak pidana yang dapat muncul lewat keberadaan family office. Hal ini sangatlah penting untuk dilaksanakan karena negara dengan sistem pengawasan sebaik Singapura pun dapat “kebobolan”. Jangan sampai konsep yang digadang-gadang akan meningkatkan devisa negara justru menjadi sarana terjadinya berbagai macam tindak pidana. Family office harus dipastikan dapat memberi manfaat berarti bagi masyarakat lokal dan lebih luasnya Indonesia.