Nama Jurnal : Cogent Social Sciences
Pengarang : Yoserwan
Tahun : 2024
Diulas oleh : Indri Rahmaliyah
Pendahuluan
Pada dasarnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda sejak tahun 1946. Namun, seiring dengan perkembangan masyarakat, maka tuntutan terhadap reformasi hukum agar mampu mengakomodasi nilai dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia menjadi penting. Hal ini menjadi urgensi bagi pemerintah Indonesia dalam merumuskan norma hukum yang dilandasi karena tiga alasan, yakni filosofis, politis, dan sosiologis. Alasan filosofis ini didasari oleh hukum kolonial yang tidak sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia. Adapun alasan politik ini didasari pada kondisi Indonesia yang telah merdeka, sehingga sepatutnya Indonesia memiliki hukum nasional. Adapun alasan sosiologisnya adalah karena masyarakat Indonesia membutuhkan hukum tersendiri yang memenuhi kehidupan masyarakat. Berangkat dari ketiga landasan tersebut, pembaharuan terhadap hukum pidana di Indonesia sangat diperlukan. Pada tahun 2023 pembaharuan ini berhasil dicetuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional).
Pengesahan KUHP No. 1 Tahun 2023 ternyata memunculkan permasalahan baru, dimana peraturan yang berlaku justru bersifat membatasi ruang dari hukum pidana adat. Salah satu permasalahannya terlihat pada Pasal 2 KUHP No. 1 Tahun 2023 yang mengatur limitasi dari perwujudan hukum pidana adat yang harus diatur terlebih dahulu dalam Peraturan Pemerintah (PP). Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis implikasi permasalahan dari disahkannya KUHP No. 1 Tahun 2023 terhadap hukum pidana adat.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang dalam menjawab rumusan masalah dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Bahan hukum yang digunakan dalam memperkuat penelitian ini adalah bahan hukum primer, yaitu KUHP Tahun 1946 dan KUHP No. 1 Tahun 2023. Bahan hukum sekunder menggunakan dokumen penting penelitian, yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPRS). Adapun untuk bahan hukum tersier penelitian ini menggunakan buku dan artikel jurnal penelitian sebelumnya sebagai tinjauan pustaka.
Pembahasan
Pada dasarnya hukum adat sebagai hukum yang hidup di masyarakat tumbuh berkembang menjadi hukum tidak tertulis yang terinternalisasi dalam kesadaran, batin dan tingkah laku dari setiap komunitas hukum adat itu sendiri. Adapun salah satu bentuk dari hukum adat tersebut adalah hukum pidana adat. Hukum pidana adat telah dikenal sedari lama sebelum Indonesia merdeka, yakni pada masa pra-kolonial. hukum adat masih berjalan bersama tanpa ada pemisahan antara adat dengan negara. Namun, pada masa kolonialisme Belanda terjadi pemisahan antara hukum adat dengan hukum pemerintah Belanda. Pemisahan hukum ini tidak hanya terjadi di masa Belanda saja, melainkan juga terjadi setelah kemerdekaan Indonesia. Meskipun begitu Indonesia tetap mengakui adanya pluralisme dalam sistem hukumnya.
Namun, implementasi kebijakan pemerintah mengenai hukum adat masih bersifat terbatas. Ketentuan yang diaplikasikan oleh pemerintah saat ini membatasi keberlakuan ranah dari hukum pidana adat itu sendiri. Salah satunya adalah dengan implementasi Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil yang menghapus pengadilan adat. Kebijakan ini justru melemahkan keberadaan hukum pidana adat yang telah hidup sebelum Indonesia berdiri. Hal ini juga didukung dengan fakta bahwa pada Pasal 2 dan Pasal 66 dari KUHP No. 1 Tahun 2023 dapat menjadi bumerang yang melemahkan hukum pidana adat. Pada Pasal 2 mengandung tiga pembatasan terhadap penerapan hukum pidana adat. Pertama, mengenai tindak kejahatan yang hanya dianggap sebagai kejahatan apabila telah dilarang oleh negara. Hal ini mengakibatkan munculnya kejahatan adat tidak dapat diselesaikan pada pengadilan adat karena hanya dianggap sebagai hukum pidana biasa saja. Kedua, ketentuan hukum pidana adat hanya berlaku pada wilayah tertentu, padahal hukum adat melekat pada kesadaran dari anggota komunitas adat yang dapat hidup dimana saja tanpa terbatas wilayah, sehingga dalam penetapan hukum pidana adat harus diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Hal ini bersifat kontradiktif dengan esensi dari hukum adat yang hidup dari kesadaran masyarakat dan bukan berasal dari kesadaran yang diatur ataupun dipaksakan oleh pemerintah. Hukum adat tidak membutuhkan peraturan kaku yang membatasi perkembangannya, melainkan hukum adat hanya membutuhkan pengakuan atas eksistensinya dari negara. Pengakuan terhadap hukum adat dapat memberikan dasar hukum bahwa hukum adat dapat terus hidup dalam kehidupan komunitas adatnya. Pasal 2 KUHP menunjukkan bahwa sebenarnya KUHP No. 1 Tahun 2023 dalam mengakomodasi hukum pidana adat memiliki dua tujuan yang saling kontradiktif, yakni untuk melindungi dan melemahkan hukum adat itu sendiri.
Permasalahan lain dari KUHP No. 1 Tahun 2023 adalah Pasal 66 KUHP No. 1 Tahun 2023 yang mem sanksi adat hanya sebagai sanksi tambahan. Konsekuensi dari KUHP No. 1 Tahun 2023 ini berimbas pada penempatan hukum adat yang seolah-olah tunduk dan berfungsi hanya sebagai pilihan hakim karena bersifat tambahan. Permasalahan selanjutnya adalah mengenai permasalahan yurisdiksi, dimana dengan dihapuskannya pengadilan adat melalui Undang-Undang Darurat Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil mengakibatkan setiap tindak pidana adat harus melalui pengadilan negara. Ketentuan dalam UU.Drt Tahun 1951 bertentangan dengan gagasan pemerintah dalam memperkuat hukum adat. Pemerintah justru melemahkan hukum adat itu sendiri dengan membatasi perkembangannya, padahal pemerintah seharusnya melindungi eksistensi hukum adat dengan mengakui bahwa hukum adat hidup, tumbuh dan berkembang di kesadaran masyarakat. Eksistensi pengadilan adat tetap harus hadir untuk melindungi eksistensi hukum pidana adat.
Penutup
Hukum pidana adat sebagai hukum yang hidup di masyarakat, tidak dapat dilepaskan dari kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Meskipun pemerintah tidak kembali memberlakukan pengadilan adat, komunitas adat akan terus hidup di kehidupan masyarakat. Maka dengan dimasukkannya hukum pidana adat pada ketentuan KUHP yang bersifat membatasi keberlakuan hukum pidana adat akan sangat berpotensial dalam melemahkan posisi hukum pidana adat sebagai hukum yang telah lama hidup di komunitas hukum adat setempat. Oleh karena itu, sebagai bentuk perubahan yang mampu mengakomodasi perlindungan terhadap hukum pidana adat, maka badan legislatif dapat mengusulkan amandemen ataupun melalui pengajuan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah ketentuan pada pasal-pasal tersebut.
Catatan Kritis
Ditinjau dari aspek teoritis, pemaparan yang dibahas dalam artikel jurnal berjudul Implications of Adat Criminal Law incorporation into the New Indonesian Criminal Code: Strengthening or weakening? oleh Yoserwan telah menjawab rumusan masalah dengan jelas, terutama dalam menjelaskan implikasi dari pengesahan peraturan hukum pidana di Indonesia terhadap hukum adat.
Ditinjau dari aspek metodologis, penggunaan metode yuridis normatif dalam penelitian ini, tidak dikenal secara lebih luas oleh negara lain, sehingga penelitian ini hanya akan bermanfaat di tingkat pemahaman Indonesia saja. Oleh karena itu, pengulas meyakini bahwa seharusnya penggunaan metode yang digunakan adalah doktrinal karena dalam pembahasannya Yoserwan menitikberatkan pada pengkajian peraturan yakni KUHP No. 1 Tahun 2023 terhadap kondisi hukum pidana adat di masyarakat. Sejatinya, penggunaan metode penelitian doktrinal lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas dibandingkan dengan menggunakan metode yuridis normatif dalam mengkaji permasalahan antara KUHP No. 1 Tahun 2023 dengan hukum adat.
Ditinjau dari hasil penelitian, terdapat dua rumusan masalah yang berfokus dalam menjawab bagaimana implikasi dari hukum pidana adat setelah disahkannya KUHP No. 1 Tahun 2023, dan apakah pengesahan dari KUHP No. 1 Tahun 2023 melemahkan atau menguatkan eksistensi dari hukum pidana adat. Pada rumusan masalah yang pertama, Yoserwan telah menjawab pertanyaan mengenai implikasi dari dibentuknya KUHP No. 1 Tahun 2023 terhadap eksistensi hukum pidana adat dengan sangat jelas. Meskipun begitu, pengesahan ini menjadi bumerang yang kontradiktif dengan hukum adat yang hidup pada setiap komunitas hukum adat. Kemudian, rumusan masalah kedua juga telah terjawab dengan cukup jelas, dimana dengan adanya ketentuan hukum pidana adat yang diatur pada KUHP No. 1 Tahun 2023 dapat melemahkan eksistensi dari hukum adat karena membatasi kehidupan dari hukum adat itu sendiri. Adapun solusi yang ditawarkan pada penelitian ini adalah untuk mengajukan amandemen atau permohonan pengujian kepada MK mengenai ranah hukum pidana adat dalam KUHP No. 1 Tahun 2023.
Penelitian yang dilakukan oleh Yoserwan telah membawa angin segar dan menjadi dasar dalam ranah penelitian hukum pidana adat selanjutnya, terutama karena penelitian ini rilis di tahun 2024 setelah setahun pengesahan KUHP No. 1 Tahun 2023. Penelitian ini juga telah diperkaya dengan adanya tinjauan pustaka yang membahas mengenai hukum pidana adat pada hukum pidana Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi sebuah dasar dalam penelitian selanjutnya, seperti bagaimana implementasi Peraturan Pemerintah dalam mengakomodasi kebutuhan hukum pidana adat.