Event Review: KEDAI II “Mengupas Perlindungan Tenaga Kesehatan dan Medis di dalam UU Kesehatan”

Oleh : Chera Hawanti dan Hisom
Staf Biro Jurnalistik LK2 FHUI

Depok, 2 September 2023 – Telah sukses dilaksanakan Kegiatan Kelompok Diskusi Analisis Ilmiah II (“KEDAI II”) yang merupakan salah satu program kerja Bidang Kajian Keilmuan Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (“LK2 FHUI”). KEDAI II diselenggarakan secara daring melalui Zoom Cloud Meetings dan luring di ruangan Soemadipradja & Taher Fakultas Hukum Universitas Indonesia (“S&T FH UI”). Kegiatan ini bertujuan untuk mengulik perlindungan hukum tenaga kesehatan dan tenaga medis dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Materi disampaikan oleh tiga pembicara yang memiliki latar belakang yang berbeda dengan perspektif mereka masing-masing, yaitu Dr. Sundoyo, S.H., M.K.M., M.Hum. selaku Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, dr. Mahesa Paranadipa Maikel, M.H. selaku Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (“DPP MHKI”), dan Djarot Dimas Achmad Andaru, S.H., M.H. selaku Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 

Topik Pembahasan

Baru-baru ini UU Kesehatan telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) pada 11 Juli 2023 lalu. Akan tetapi, terhadap pengesahan undang-undang tersebut, banyak reaksi yang timbul dari masyarakat umum maupun ahli kesehatan. Kurangnya keterlibatan ahli dan tenaga kesehatan dalam proses perumusan pasal-pasal  dalam UU Kesehatan dianggap sebagai penyebab protes yang terjadi. Disahkannya UU Kesehatan memunculkan berbagai kekhawatiran, terutama mengenai rawannya misinterpretasi pasal-pasal yang masih multitafsir. 

Konsep UU Kesehatan

Tanggung jawab pemerintah atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak telah diatur dalam Pasal 34 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD 1945”). Pemaknaan fasilitas yang layak dapat diartikan sebagai pelayanan fasilitas yang mudah diakses masyarakat dan pelayanan fasilitas yang bermutu. Dalam mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang menunjang. Namun, perjalanan pengesahan UU Kesehatan tidaklah mudah karena banyak pihak-pihak yang protes dengan berbagai alasan, seperti pengesahan UU Kesehatan yang dianggap terburu-buru, tidak diikutsertakannya para ahli kesehatan dalam pembentukan uu, hingga pasal-pasal dalam UU Kesehatan yang dianggap belum dapat melindungi hak-hak tenaga kesehatan dan medis. 

Dr. Sundoyo menyatakan bahwa RUU Kesehatan yang telah disahkan DPR masuk ke Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) Prioritas 2023 pada akhir tahun 2022. Dengan fakta itu, Dr. Sundoyo tidak menyetujui argumen yang menyatakan bahwa UU Kesehatan dibuat secara mendadak dan terburu-buru. Dr. Sundoyo juga menanggapi mengenai isu UU Kesehatan dibuat tanpa mempertimbangkan suara masyarakat maupun pihak ahli kesehatan. Menurutnya, hal itu tidak benar karena kenyataannya telah dilakukan 115 kali meaningful participation atau partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dengan focus group discussion (“FGD”) maupun seminar. 

Djarot Dimas, Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ikut angkat bicara mengenai isu yang ada mengenai UU Kesehatan.

“Narasi yang berkembang mengenai kriminalisasi dokter di UU Kesehatan juga  menjadi pemicu banyaknya pro kontra yang padahal hal itu juga tidak benar. UU Kesehatan ini malah sudah menyesuaikan dengan perubahan-perubahan kondisi bidang hukum kesehatan di Indonesia,” ungkap Djarot.

Menurut Dr. Sundoyo, UU Kesehatan menyelesaikan beberapa persoalan di bidang hukum, seperti menghindari tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan, efisiensi peraturan perundang-undangan yang sudah tidak berlaku, dan menghilangkan ego sektoral dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Adapun salah satu pasal dalam UU Kesehatan yang menjadi sorotan mengenai perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan medis adalah Pasal 60 UU Kesehatan mengenai perlindungan hukum atas tindakan aborsi. Dalam pemaparan materinya, Ia menerangkan mengenai perlindungan hukum terhadap dokter yang melakukan tindak aborsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal tentang aborsi tetap kita cantumkan, artinya walaupun KUHP lama tetap berlaku begitu, aborsi masih bisa dilakukan dengan beberapa syarat. Hal ini sebagai bentuk perlindungan hukum, yaitu adanya dasar pemaaf untuk dokter,” ungkap Dr. Sundoyo.

Implikasi UU Kesehatan terhadap Tenaga Medis dan Kesehatan

Adanya UU Kesehatan didasarkan pada Pasal 28H dan Pasal 34 ayat 3 UUD 1945. Pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan yang layak termasuk dengan hak kesehatan. Sedangkan Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 mengatur mengenai tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak. Upaya legislator untuk memenuhi amanat konstitusi tidak selalu berjalan mulus, seperti UU Kesehatan ini yang masih mendapat perhatian dari berbagai ahli kesehatan. Menurut dr. Mahesa, Ketua Umum DPP MHKI, masih banyak pasal dalam UU Kesehatan yang multitafsir, artinya pasal-pasal tersebut tidak dapat memberikan kepastian hukum karena dapat diinterpretasikan berbeda-beda. 

Misalnya, Pasal 308 UU Kesehatan yang menjelaskan bahwa tenaga medis dan kesehatan yang melanggar hukum tidak serta merta dapat dipidana, melainkan harus mendapatkan rekomendasi dari majelis terlebih dahulu. Majelis yang dimaksud merupakan badan independen yang merupakan organ kerja dari Konsil Kedokteran Indonesia (“KKI”) yang bertugas untuk mengawasi etika dan disiplin dokter. Adanya Pasal 308 UU Kesehataan menimbulkan pertanyaan, apakah penyidik dan hakim akan mengikuti aturan ini atau malah tunduk kepada aturan hukum acara. Meskipun masih banyak kekurangan dalam UU Kesehatan, dr. Mahesa mengakui bahwa dalam UU Kesehatan terdapat beberapa pasal yang mewujudkan adanya perlindungan hukum seperti yang disebutkan Dr. Sundoyo. Di samping itu, Dr. Sundoyo juga mengatakan bahwa kekurangan pasal-pasal dalam UU Kesehatan masih dapat diperbaiki dengan ditambah ketentuannya melalui peraturan pelaksananya seperti peraturan pemerintah (“PP”) apabila diperlukan.

Djarot Dimas menyampaikan bahwa UU Kesehatan ini baru disahkan, tetapi telah mengubah banyak aspek mengenai pemidanaan tenaga medis dan kesehatan seperti pada Pasal 308 UU Kesehatan tersebut yang memberikan peranan yang kuat kepada majelis disiplin profesi tenaga medis dan kesehatan. Djarot Dimas juga menyampaikan betapa pentingnya perlindungan hukum bagi tenaga medis dan kesehatan karena pada beberapa tahun kebelakang banyak tenaga medis dan kesehatan yang menjadi korban kriminalisasi, seperti dokter Ayu, dokter Setyaningrum, dan masih banyak lainnya.

Harapan dan Kesimpulan

Acara KEDAI II ditutup dengan sesi tanya jawab yang aktif dilakukan oleh peserta. Diskusi yang dilakukan secara terbuka oleh ketiga pembicara pun menyimpulkan bahwa UU Kesehatan hadir sebagai perwujudan amanah konstitusi melahirkan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan medis. Meskipun masih memiliki beberapa kekurangan dalam pasal-pasalnya sehingga menyebabkan berbagai reaksi para ahli kesehatan, para legislator membuka kesempatan untuk menambah ketentuan melalui aturan pelaksanaanya seperti PP apabila diperlukan. Dr. Sundoyo selaku Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan RI juga menyampaikan, bahwa apabila nantinya terdapat uji UU Kesehatan maka hal itu bukan semata-mata pihak yang menentang pemerintah, tetapi pengujian UU Kesehatan sebagai bentuk menjaga konstitusi. Sebagai penutup acara, dr. Mahesa dan Djarot Dimas menyampaikan harapannya mengenai pemberlakuan UU Kesehatan ini dapat memperbaiki kualitas kesehatan di Indonesia dan semakin berkurangnya kriminalisasi terhadap tenaga medis dan kesehatan yang telah menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.