Oleh: Kayla Manda Maharani
Staf Magang Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI
Kalimat hukum pidana tentunya sudah tidak asing di telinga kita. Salah satu ahli hukum, W.LG. Lemaire, mengemukakan pengertian bahwa hukum pidana merupakan hukum termasuk norma-norma yang memuat kewajiban dan larangan yang ditetapkan oleh undang-undang, dikaitkan dengan bentuk-bentuk hukuman yang berupa hukuman, yaitu penderitaan khusus. Secara teori, hukum pidana dijatuhkan sebagai hukuman kepada seseorang yang telah melakukan sesuatu kejahatan sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan atas kejahatan yang dilakukannya, sehingga sanksi yang dijatuhkan bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Kehadiran hukum pidana sangat dibutuhkan di tengah makin beragamnya jenis tindak pidana yang terjadi di masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga mulai bermunculan para pelaku tindak pidana yang masih dibawah umur. Baru-baru ini, tepatnya pada September lalu, terjadi sebuah kasus pembunuhan terhadap seorang siswi SMP oleh pelaku di bawah umur di Palembang. Kasus yang merupakan tindak pidana penghilangan nyawa ini menjadi sorotan masyarakat luas. Setelah dibunuh dan mengalami pemerkosaan, korban yang sudah tidak bernyawa dibawa ke sebuah tempat pemakaman umum oleh para pelaku dan ditemukan oleh warga dalam keadaan mengenaskan di sana. Tidak butuh waktu lama bagi polisi untuk dapat menjerat pelakunya yang ternyata berjumlah empat orang. Kasus yang sedari awal sudah miris ini, semakin memprihatinkan ketika diketahui bahwa para pelakunya masih di bawah umur tega melakukan delik tersebut. Bahkan, salah satu di antara mereka yang merupakan dalang dibalik perbuatan para pelaku, baru menginjak usia 16 tahun. Hal ini tentunya menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat mengenai hukuman yang tepat untuk dijatuhkan kepada para pelaku mengingat usia mereka yang masih di bawah umur.
Semakin meningkatnya kasus pidana dengan pelaku di bawah umur menimbulkan pertanyaan. Di Indonesia sudah terdapat undang-undang beserta peraturan turunan yang mengatur tentang peradilan anak. Namun, hal ini patut dipertanyakan. Mengapa jumlah kasus pidana anak malah semakin marak terjadi? Bagaimana implementasi dari peraturan sistem pidana anak yang berlaku saat ini yang dianggap kurang efektif menekan angka kasus tindak pidana anak?
Secara tidak sadar, yang terproyeksi dalam pikiran kita ketika memikirkan tentang kasus pidana adalah tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang sudah dewasa. Memang umumnya pun demikian sebab berkaitan dengan kecakapan seseorang dalam bertindak. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa seiring dengan perkembangan waktu, mulai bermunculan “tren” baru mengenai tindak pidana. Berita mengenai kasus pidana dengan pelaku dibawah umur semakin sering berseliweran dari hari ke hari di berbagai media. Mungkin masyarakat sudah cukup tidak heran dengan berbagai kasus pidana yang pelakunya sudah terbilang dewasa. Namun, ketika mendengar mengenai kasus pidana dengan pelaku dibawah umur, akan ada magnet tersendiri bagi sebagian orang untuk menaruh perhatian lebih kepada kasus tersebut. Hal yang disorot terutama adalah tentang pertanggungjawaban yang dicerminkan dalam penjatuhan pidana (stelsel pidana) yang berkaitan langsung dengan putusan pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim..
Dalam setiap kasus kasus pidana dengan pelaku di bawah umur, masyarakat yang mengawal kasus tersebut dari awal sampai akhir, tentunya menantikan penyelesaian dari kasus tersebut. Terdapat dilema antara keadilan yang didapatkan oleh pihak korban dengan benturan stelsel pidana yang dijatuhkan dilandaskan pada existing regulation. Mengingat pelaku di bawah umur ini tentunya tidak akan mendapatkan hukuman seberat pelaku yang sudah dewasa.
Kasus pembunuhan siswi SMP di Palembang yang telah disebutkan di awal adalah salah satu contohnya. Kasus ini benar-benar menyita perhatian masyarakat. Putusan hukuman yang menjerat para pelaku dianggap tidak setimpal. Salah satu pelaku pembunuhan yang berinisial IS (16), hanya dijatuhi hukuman pidana penjara selama 10 tahun. Selain itu, IS juga diwajibkan untuk mengikuti pelatihan kerja selama satu tahun di Dinas Sosial Kota Palembang. Sementara itu, ketiga pelaku lainnya, yaitu MZ (13), NZ (12) dan AS (12), mendapatkan sanksi berupa mengikuti pendidikan selama satu tahun di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Hal ini karena ketiga pelaku tersebut masih dikategorikan sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Keluarga korban merasa bahwa putusan yang dijatuhkan sangat tidak adil. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA), turut memberi tanggapan terkait putusan pengadilan tersebut bahwa putusan yang dijatuhkan pada kasus ini tidak boleh semata-mata atas dasar setimpal atau tidak, tetapi juga harus melihat dari kondisi para pelaku sendiri yang masih dibawah umur, agar tidak terjadi risiko terulangnya siklus kekerasan di kemudian hari.
Putusan pengadilan terhadap pelaku dibawah umur sudah seringkali memancing kontroversi di masyarakat. Bahkan, terdapat pelaku yang akhirnya dibebaskan dan tidak mendapatkan hukuman pidana apapun. Dari sini timbullah pertanyaan, apakah ada yang salah dengan hukum pidana terhadap pelaku dibawah umur yang saat ini berlaku? Apakah peraturan-peraturan tersebut masih perlu dibenahi?
Di Indonesia sendiri, terjadi peningkatan kasus pidana dengan pelaku dibawah umur. Salah satunya adalah berdasarkan data dari Unit PPA Reskrim Polresta Magelang, dari 2018 ke 2019, terjadi peningkatan kasus pidana anak sebanyak 54%. Entah itu kasus pencurian, kekerasan seksual, atau bahkan yang terburuk adalah pembunuhan. Rentang usia pelaku paling banyak berada di antara 16 sampai 17 tahun. Anak-anak dibawah umur yang seharusnya disibukkan dengan kegiatan sekolah, malah sudah memiliki kesadaran untuk melakukan tindakan jahat yang merupakan pidana.
Darimana sebenarnya para pelaku yang masih dibawah umur ini bisa mendapatkan “inspirasi” atas perbuatan yang mereka lakukan? Salah satu hal yang paling berpengaruh dalam membentuk pemikiran-pemikiran negatif sejak dini dalam pikiran anak adalah berbagai tayangan dan konten yang ditayangkan di televisi ataupun berbagai media yang sangat mudah untuk diakses oleh anak-anak.
Kekerasan seksual merupakan salah satu contoh tindak pidana anak yang kerap kali terjadi karena paparan konten-konten pornografi yang ditonton oleh anak dibawah umur. Pada abad ke-21 ini, teknologi berkembang secara masif, berbagai kalangan orang sudah sangat terikat dengan teknologi dalam kehidupannya. Termasuk anak-anak. Sejak dini, mereka sudah terbiasa dan mahir dalam menggunakan teknologi. Terbiasa untuk mengakses berbagai tayangan dan konten yang ada di berbagai media. Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang ditayangkan di media digital, tidak semuanya merupakan tayangan positif. Kita tidak bisa mencegah munculnya berbagai konten negatif, seperti pornografi, yang dibuat oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Pornografi didefinisikan sebagai semua bentuk media eksplisit yang menampilkan dan mengekspos budaya atau keragaman hubungan yang sangat seksual, seperti menunjukkan alat kelamin dan kegiatan seksual secara terbuka (tanpa disembunyikan), dimana tujuan utamanya adalah untuk membangkitkan gairah orang yang melihat. Sulit untuk menghindarkan anak-anak di tengah gempuran konten negatif yang semakin merajalela.
Banyaknya konten ataupun tontonan berbau seksual atau pornografi sangat berpengaruh terhadap jalan pikiran anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan. Mungkin pada awalnya anak-anak tersebut terpapar pornografi secara tidak sengaja, tetapi pornografi dapat menimbulkan suatu efek kecanduan bagi orang yang menontonnya. Hal ini akan mendorong mereka untuk menonton lagi dengan sengaja, hingga akhirnya tidak bisa berhenti. Kecanduan yang pada awalnya hanya dalam bentuk menonton, lama kelamaan akan berkembang menjadi keinginan untuk melihat secara langsung atau ikut melakukan adegan-adegan yang terdapat dalam tayangan ponografi yang terbiasa mereka tonton. Selain itu, kurangnya pemahaman dari lingkungan di sekitar anak-anak tersebut akan sex education juga akan mempengaruhi daya tangkap mereka ketika terpapar pornografi.
Dari sinilah mulai timbul niat jahat dalam pikiran seorang anak untuk merealisasikan apa yang selama ini hanya dapat mereka tonton melalui video ataupun film. Tanpa memikirkan konsekuensi apa yang menanti mereka kedepannya, mereka menargetkan korban yang sekiranya bisa mereka jadikan pelampiasan dari niat bejat mereka. Kita ambil saja contoh dalam kasus pembunuhan siswi SMP yang telah dibahas di atas. Tindak pidana yang dilakukan oleh keempat pelaku, bukan hanya pembunuhan, melainkan juga terdapat tindak pidana kekerasan seksual di dalamnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa kekerasan seksual yang dilakukan para pelaku lah yang akhirnya memicu terjadinya pembunuhan terhadap korban.
Dalam kasus tersebut, kepolisian memberikan keterangan bahwa pemicu dari tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku adalah karena mereka telah terpapar dan kecanduan dengan konten pornografi, sehingga ketika IS bertemu dengan korban, muncul niat jahat dalam dirinya untuk melampiaskan apa yang selama ini ia tonton dalam konten-konten pornografi. Pada saat kejadian, korban yang menolak untuk berhubungan badan atas ajakan IS, kemudian dihabisi oleh para pelaku. Saat itulah keempat pelaku ini melancarkan aksi bejatnya. Ketiga pelaku lainnya yang masih dibawah umur, yaitu MZ (13 tahun), NS (12 tahun), dan AS (12 tahun), turut melakukan tindak kekerasan seksual kepada korban yang saat itu sudah tidak bernyawa.
Para pelaku mampu melakukan perbuatan sekeji itu karena mereka mempunyai kecanduan terhadap hal-hal yang berbau pornografi, sehingga melakukan pemerkosaan kepada korban untuk melampiaskan hasrat mereka. Mereka sama sekali tidak memikirkan akibat fatal dari perbuatan mereka, yang ada di pikiran mereka saat itu hanyalah untuk menyalurkan nafsu bejat mereka. Tanpa memikirkan bahwa perbuatan mereka telah mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, tanpa memikirkan hukuman apa yang akan menanti mereka.
Setelah tertangkap, para pelaku kemudian melewati proses pengadilan yang cukup kompleks. Terutama karena dalam kasus ini para pelaku masih dibawah umur. Masyarakat yang memantau jalannya kasus ini, harap-harap cemas dengan putusan yang akan dijatuhkan terhadap para pelaku. Mengingat pihak pengadilan tidak dapat semudah itu menjatuhkan sanksi pidana karena terdapat berbagai pertimbangan berkaitan dengan usia para pelaku. Benar saja, ketika putusan pengadilan akhirnya keluar, banyak pihak yang merasa tidak setuju. Tentunya keluarga korban adalah salah satunya. Mereka merasa putusan yang dijatuhkan tidak setimpal dengan kehilangan yang mereka alami. Tidak setimpal dengan apa yang telah dilakukan para pelaku terhadap putri mereka.
Berdasarkan hasil putusan persidangan, para pelaku memang divonis terbukti bersalah. Namun, hukuman yang dijatuhkan dinilai sangat tidak adil. IS, pelaku yang menjadi dalang utama pada kasus ini, hanya dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun. Sedangkan, bagi ketiga pelaku lainnya diwajibkan untuk mengikuti pendidikan selama satu tahun di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Keluarga korban merasa putusan yang dijatuhkan tidak setimpal dengan kehilangan yang mereka alami. Tidak setimpal dengan apa yang telah dilakukan para pelaku terhadap putri mereka. Mereka tidak terima pelaku yang telah menghilangkan nyawa anggota keluarga mereka, hanya dijatuhi hukuman rehabilitasi.
Dari contoh kasus tersebut, dapat dilihat adanya penyelesaian yang tampak tidak adil bagi pihak korban. Sanksi rehabilitasi yang diberikan belum efektif, karena belum tentu memberikan efek jera bagi pelaku, sehingga tidak memberi jaminan bahwa para pelaku tersebut tidak akan mengulangi lagi perbuatannya di masa mendatang. Hal ini menunjukkan perlunya pembenahan terhadap peraturan pidana yang berlaku bagi pelaku di bawah umur di Indonesia serta kebutuhan revisi untuk menciptakan keadilan yang seadil-adilnya bagi pihak korban.
Sebelum masuk lebih jauh kepada pembahasan, perlu diketahui dan dipahami terlebih dahulu peraturan-peraturan pidana yang saat ini berlaku di Indonesia terhadap pelaku dibawah umur. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, ketentuan ini mendefinisikan mengenai “anak” sebagai seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, Jadi, dalam konteks hukum pidana anak, seseorang dikatakan dewasa, apabila ia sudah mencapai usia 18 tahun dan dengan demikian, sistem peradilan pidana umum berlaku penuh bagi mereka.
Salah satu peraturan pidana anak yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU SPPA bertujuan untuk melindungi hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk menetapkan batas minimum usia pertanggungjawaban pidana anak di Indonesia. Menurut UU SPPA, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) merupakan anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berusia 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak yang menjadi pelaku suatu tindak pidana dari proses hukum yang dianggap terlalu berat bagi seorang anak, serta memberikan kesempatan kepada anak-anak tersebut untuk mendapatkan rehabilitasi selain daripada sanksi hukum yang akan dijatuhkan.
Berdasarkan ketentuan UU SPPA, Diversi wajib diutamakan dalam SPPA. Diversi sendiri merupakan pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/ terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim. Tujuan utama dari proses diversi adalah untuk melindungi dan menjauhkan anak dari proses peradilan yang dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya dan agar tidak berakibat fatal pada masa depan si anak.
Dalam setiap kasus peradilan terhadap anak, diusahakan tercapainya restorative justice. Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah penyelesaian perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh penyidik pada tahap penyidikan atau hakim sejak awal persidangan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, pelaku/korban, dan tokoh masyarakat terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Pada prinsipnya, dalam restorative justice, korban dan pelaku bersama-sama mencari solusi dan penyelesaian yang adil dan seimbang bagi kedua pihak, dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Prosesnya sendiri umumnya dilakukan melalui mediasi dan dialog, serta melibatkan peran serta masyarakat.
Namun, meskipun secara teori UU SPPA ini tampak seperti peraturan yang sangat tepat dan ideal untuk diterapkan dalam kasus pidana dengan pelaku dibawah umur, tetapi masih terdapat beberapa celah dan kendala terkait efektivitasnya. Memang dengan adanya proses diversi dan konsep restorative justice, akan mencegah terjadinya dampak buruk bagi sang pelaku anak akibat proses peradilan yang terlalu berat. Tetapi, masih terdapat beberapa kendala yang membuat penerapan peraturan ini belum efektif dan malah menciptakan ketidakadilan bagi pihak korban.
Salah satu hal utama yang dapat memicu ketidakefektifan penerapan UU SPPA adalah tingkat pemahaman aparat penegak hukum. Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai batas usia anak bisa dikenakan hukum pidana di antara para penegak hukum. Di dalam peraturannya sendiri, diatur bahwa anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenakan sanksi berupa pembinaan, pelayanan masyarakat, dan juga pengawasan. Dengan bentuk sanksi yang seperti itu, apakah bisa menjamin ketidak berulangan dari tindakan si pelaku anak di masa depan?
Selain itu, UU SPPA bertujuan untuk mencapai terselenggaranya penerapan sanksi yang bersifat rehabilitatif bagi pelaku anak agar tidak sekadar menghukum, tetapi juga dapat memberikan pemulihan dan edukasi bagi mereka. Penerapan sanksi yang rehabilitatif ini bertujuan untuk membantu anak-anak yang menjadi pelaku dalam kasus pidana dapat memahami kesalahan mereka serta membekali mereka dengan pengetahuan yang diperlukan ketika nantinya melakukan reintegrasi ke dalam masyarakat.
Disinilah terdapat kendala lain yang yang harus dihadapi terkait dengan tujuan dari UU No, 11 Tahun 2012, yaitu belum memadainya fasilitas rehabilitasi bagi para anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Percuma saja jika tujuan utamanya adalah untuk melakukan rehabilitasi demi kebaikan si pelaku anak apabila proses rehabilitasi yang dilakukan tidak efektif. Proses rehabilitasi yang dilakukan tidak akan membawa pengaruh apapun terhadap pemahaman maupun psikologis anak yang menjadi pelaku. Hal ini ditakutkan akan menimbulkan risiko di kemudian hari anak tersebut akan mengulangi perbuatannya.
Masih banyak sekali hal yang perlu diperbaiki dan diperhatikan terkait dengan efektivitas penerapan UU No.11 Tahun 2012 sebagai peraturan yang digunakan dalam sistem peradilan anak. Meskipun penerapan dari peraturan ini memang bertujuan agar tercipta keadilan baik kepada korban maupun pelaku, tetapi apabila penerapannya dilakukan secara tidak efektif, maka akan merugikan pihak korban.
Hal yang terpenting ketika terjadi suatu kasus pidana adalah kita harus melihat sudut pandang dari pihak korban. Dalam banyak kasus, pihak korban merasa mereka tidak mendapatkan keadilan yang semestinya ketika mengetahui putusan peradilan yang dijatuhkan terhadap si pelaku. Bukankah seharusnya keadilan hukum tercapai bagi kedua pihak?
Konsep diversi dan restorative justice dalam peraturan pidana anak yang berlaku saat ini memang sah-sah saja untuk diterapkan, terutama untuk agar tercipta keadilan juga bagi pihak pelaku. Namun, hal ini akan tercapai secara ideal apabila penerapannya pun dilakukan secara optimal. Seperti yang sudah disebutkan tadi, ketidakefektifan dari penerapan peraturan tindak pidana anak hanya akan menciptakan ketidakadilan bagi pihak korban. Memang semangat penegakan hukum saat ini di Indonesia, khususnya mengenai pemidanaan lebih condong pada paradigma restorative justice. Namun, perlu diingat juga mengenai pemulihan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) juga harus seimbang dengan rasa keadilan di masyarakat.
Selain itu, ketidakefektifan penerapan hukum pidana anak yang saat ini berlaku, akan menciptakan risiko keberulangan di kemudian hari. Tidak adanya hukuman yang membuat jera, akan membuat pelaku anak tersebut tidak merasa takut untuk mengulangi perbuatannya, karena merasa dia akan terbebas dari hukuman. Pemerintah juga perlu lebih gencar dalam melakukan sosialisasi sejak dini untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak di Indonesia, agar mereka terhindar dari paparan konten-konten negatif yang dapat memicu mereka untuk melakukan tindakan pidana. Pemerintah juga harus lebih berinvestasi terhadap perbaikan fasilitas rehabilitasi bagi para pelaku anak.
Akhir kata, masih perlu dilakukan perbaikan di sana sini terkait efektivitas pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Keadilan harus tercipta bagi pihak korban. Diversi dan restorative justice sah-sah saja untuk dilakukan, selama masih terdapat konsekuensi yang diberlakukan terhadap pelaku yang setidaknya dapat membuat mereka jera. Ingat, perbuatan yang mereka lakukan telah merugikan pihak lain. Bahkan bisa jadi telah menghilangkan nyawa dari seseorang yang merupakan anak dari sebuah keluarga. Jangan sampai kepentingan pelaku terlindungi, tetapi keadilan terhadap korban terabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Nomor 11 Tahun
BUKU
Djamil, Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
JURNAL/ARTIKEL
Anggraini, Trinita dan Erine Nur Maulidya. “Dampak Paparan Pornografi Pada Anak Usia Dini.” Al-Athfaal: Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak Usia Dini. Vol. 3. No. 1 (2020). Hlm. 47-48.
Febriani, Yolanda dan Asep Suherman. “Efektivitas UU No.11 Tahun 2012 (SPPA) terhadap Batas Minimum Usia Pidana Anak berdasarkan Hukum Positif di Indonesia.” Jurnal Kajian Hukum dan Kebijakan Publik. Vol .2, No. 1 (2024). Hlm. 347.
Febriani, Yolanda dan Asep Suherman. “Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Praktik Ketatanegaraan.”Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan (JISIP). Vol.6, No.1 (2022). Hlm. 3598.
Khoiroh, Aimmatul dan Hery Firmansyah. “Sistem Pembuktian yang Digunakan Oditur Militer dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana yang Dilakukan Anggota Militer.” Unnes Law Review. Vol. 6. No. 2 (2023). Hlm. 5668.
Kurniaty, Yulia. “Pengaruh Lingkungan Pergaulan terhadap Peningkatan Kejahatan yang Dilakukan Anak.”University Research Colloquium, (2020). Hlm. 416.
Mubaroq, Nafi. “Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana Nasional dan Fiqh Jinayah.”Al-Qānūn: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam. Vol. 18. No. 2 (2015). Hlm. 301.
LAIN-LAIN
BBC News. “Empat Anak Pelaku Pemerkosaan dan Pembunuhan Siswi SMP di Palembang Divonis Bersalah-’Pelaku Terpapar Konten Pornografi.” BBC News Indonesia, 14 September 2024. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/czxlxx41z04o, diakses pada 28 November 2024.
Irawan. “4 Orang Ditetapkan Tersangka Kasus Pembunuhan Siswi SMP di Palembang.” detik Sumbagsel, 4 September 2024. Tersedia pada https://www.detik.com/sumbagsel/hukum-dan-kriminal/d-7524894/4-orang-ditetapkan-tersangka-pembunuhan-siswi-smp-di-palembang, diakses pada 28 November 2024.