Compensation for Citizens Due to Poor Public Service Delivery: Viewed From the Perspective of Civil Rights

Nama Jurnal :  Brawijaya Law Journal: Journal of Legal Studies

Pengarang :  Laode Rudita

Tahun :  2023

Diulas oleh :  Azkya Baheyya Syefa

Pendahuluan

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa pelayanan publik merupakan salah satu landasan fundamental bagi terpenuhinya hak-hak asasi warga negara. Hal ini tertuang dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab dalam menyediakan pelayanan publik yang layak. Atas dasar ini, pemerintah sebagai representasi negara memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan publik yang layak. Pelayanan publik merupakan kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat atas barang, jasa, dan pelayanan administratif sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 mengenai Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik). Namun, pada kenyataanya, pelayanan publik yang diberikan  tidak berjalan efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan masyarakat karena belum terpenuhinya standar pelayanan yang seharusnya. Standar pelayanan yang seharusnya menurut UU Pelayanan Publik yakni pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur. Standar pelayanan tersebut meliputi dasar hukum, persyaratan pelayanan dan standar operasional prosedur (SOP), waktu penyelesaian, biaya dan tarif, produk pelayanan, penyediaan sarana dan prasarana, kompetensi pelaksana, pengawasan internal, penanganan pengaduan, saran dan masukan, jumlah pelaksana, jaminan pelayanan, keamanan dan keselamatan, serta evaluasi kinerja pelaksana. Survei Indeks Pelayanan Publik 2022 yang dirilis oleh Global Economy menempatkan Indonesia pada urutan ke-79 dari 177 negara. Posisi ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura yang berada di peringkat ke-4. Di tengah situasi ini, terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pertama, warga negara menggunakan hak mereka untuk memilih penyedia layanan publik yang mereka anggap paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Kedua, warga dapat menggunakan haknya untuk mengadu melalui saluran pengaduan yang tersedia jika merasa dirugikan. Ketiga, penyedia layanan memberikan kompensasi atas kerugian yang timbul akibat tidak terpenuhinya layanan yang disyaratkan.

Birokrasi yang buruk dan korup dapat menghambat efisiensi dan efektivitas pelayanan publik sehingga berdampak negatif bagi masyarakat serta menghambat pembangunan ekonomi dan sosial. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, menganut prinsip kedaulatan rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Hal ini membawa  konsekuensi penting, yaitu pemerintah wajib melayani rakyat dengan baik dan menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat. Pelayanan publik merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Kualitas pelayanan publik yang baik mencerminkan penghormatan pemerintah terhadap hak rakyat. Oleh karena itu, masyarakat berhak mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas serta memiliki hak untuk dapat menyuarakan ketidakpuasan terhadap pelayanan publik yang tidak memadai. 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian doktrinal (normatif) yang berfokus pada hukum yang relevan pada isu pelayanan publik, yakni UUD NRI 1945 dan UU Pelayanan Publik. Metode ini dilakukan melalui analisis hukum dan melihat implementasinya pada masyarakat. Penelitian ini juga memberikan solusi untuk pembangunan masa depan. Ketiganya merupakan komponen utama metode penelitian hukum doktrinal.

Data yang digunakan berupa data primer, yaitu UUD NRI 1945 dan UU Pelayanan Publik. Data sekunder yang diperoleh berasal dari berbagai sumber, yaitu website resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), website The Global Economy, dan literatur hukum lainnya yang relevan.

 

Pembahasan

Penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia berasaskan pada berbagai aspek fundamental, yaitu kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesionalitas, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Namun, realita sosial menunjukan bahwa pelayanan publik tidak berhasil dalam menerapkan asas tersebut. Hal ini dapat dilihat dari belum terpenuhinya standar pelayanan publik. Ketidakmampuan penyelenggaraan pelayanan publik untuk memenuhi standar yang ditetapkan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif. Sebagian dari dampak tersebut adalah warga yang tidak nyaman akibat birokrasi pelayanan publik yang rumit dan pelayanan yang lambat dalam mengurus dokumen penting. Dampak ini turut berperan dalam menurunnya kepercayaan masyarakat lantaran merasa kecewa dengan pelayanan publik yang buruk.

Di tengah situasi pelayanan publik yang belum ideal, masyarakat berhak menyuarakan ketidakpuasan terhadap pelayanan publik yang tidak memenuhi standar sesuai dengan Pasal 15 huruf (f) UU Pelayanan Publik  yang menyatakan bahwa pelayanan publik wajib menyediakan pelayanan publik sesuai standar. Indonesia menyediakan layanan pengaduan pelayanan publik yang dikenal dengan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional-Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (SP4N-LAPOR) sebagai saluran pengaduan masyarakat apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan. Namun, pengaplikasian layanan pengaduan ini ternyata menunjukkan ketidakefektifan penanganan pengaduan pelayanan publik di Indonesia.  Tantangan besar bagi Indonesia adalah minimnya pengetahuan publik mengenai mekanisme pengaduan dan rendahnya kepercayaan masyarakat akibat tidak ditanggapi dengan serius serta tidak ditindaklanjuti dengan tepat. Kondisi ini di perkeruh dengan kurangnya kepedulian terhadap kesejahteraan petugas pelayanan publik sehingga berpotensi menimbulkan demotivasi hingga kinerja buruk yang turut berdampak pada kualitas pelayanan publik. Permasalahan ini menunjukkan penanganan pengaduan terbukti merupakan solusi yang buruk. Penanganan pengaduan yang terbukti tidak efektif menunjukkan perlunya mekanisme sanksi yang lebih tegas untuk memberikan efek jera bagi penyedia layanan yang tidak memenuhi standar pelayanan. Pendapat ini didukung pada Pasal 54 ayat (2) UU Pelayanan Publik yang menyatakan bahwa penyedia layanan yang tidak melaksanakan standar pelayanan akan dikenakan sanksi teguran tertulis. Jika teguran tertulis tersebut tidak diindahkan dalam waktu tiga bulan, maka mereka dapat diberhentikan dari jabatannya. Namun ternyata mekanisme ini tidak pula memberikan solusi konkret untuk menyelesaikan kerugian yang masyarakat alami. Maka dari itu,  diperlukannya solusi alternatif yang tepat untuk permasalahan tersebut. Pertama, pelayanan publik harus berfokus pada kebutuhan dan kepuasan masyarakat. Kedua,  pelayanan publik menjadi lebih cepat, akurat, dan mudah diakses. Ketiga, kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kepuasan setelah dirasakannya kegagalan dalam layanan publik. Contohnya pada sektor swasta, saat terjadi keterlambatan penerbangan, maka maskapai penerbangan wajib memberikan kompensasi kepada penumpang atas kerugian dari tidak terpenuhinya standar penyelesaian pelayanan. Ironisnya, UU Pelayanan Publik tidak mengatur ganti rugi secara eksplisit, melainkan hanya menyatakan bahwa masyarakat hanya dapat mengajukan pengaduan.  Meskipun terdapat berbagai skema kompensasi di ranah swasta dan semi publik, hal ini tidak terlalu umum di organisasi publik di Indonesia. Organisasi publik juga berbeda dalam hal apakah mereka secara eksplisit berjanji untuk memberikan kompensasi atas kegagalan pelayanan. Namun, reformasi manajemen publik yang baru atau disebut New Public Management (NPM) di Indonesia telah mengharuskan organisasi pelayanan publik untuk mengadopsi praktik-praktik yang sama baiknya dengan yang dilakukan oleh sektor swasta. Paradigma NPM mengharuskan organisasi publik  untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan dan memberikan kepuasan pelayanan yang maksimal kepada konsumen atau warga negara dalam ini berarti organisasi publik tidak boleh hanya terpaku pada aturan dan prosedur, tetapi harus proaktif dalam memahami dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Dalam menangani hal tersebut, pasal 50 ayat (8) UU Pelayanan Publik menjelaskan bahwa ketentuan pembayaran ganti rugi diatur dengan Keputusan Presiden (Keppres) yang hingga saat ini belum ditetapkan. Keppres tersebut menjadi urgensi untuk segera disusun. Pertama, Keppres merupakan landasan hukum untuk memberikan ganti rugi pelayanan publik. Kedua, Keppres memberikan kepastian hukum bagi warga negara untuk mendapatkan ganti rugi. 

 

Penutup

Masyarakat menjadi peranan krusial dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dengan memahami dan memperjuangkan hak-hak mereka serta menyampaikan ketidakpuasan pelayanan publik yang tidak memenuhi standar  sehingga mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, adil, dan akuntabel. Menciptakan pelayanan publik yang memenuhi standar memerlukan peran dan kerjasama dari berbagai pihak, yaitu pemerintah dengan membuat kebijakan regulasi dan memastikan bahwa pelayanan publik berprinsip keadilan, efektif dan efisien. Lebih lanjut lagi, pihak penyelenggara pelayanan publik harus menyelenggarakan pelayanan dengan berlandaskan prinsip integritas, akuntabilitas dan transparansi.  

 

Catatan Kritis

Ditinjau dari aspek teoritis, artikel jurnal dengan judul  Compensation for Citizens Due to Poor Public Service Delivery: Viewed From the Perspective of Civil Rights yang ditulis oleh Laode Rudita merupakan sebuah kajian yang mendalam mengenai hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik dan mekanisme dalam menegakkan hak tersebut. Secara teoritis, artikel ini menghadirkan analisis komprehensif dari sudut pandang hukum masyarakat pembangunan dan hak sipil dengan menelaah teori manajemen yang menggerakan organisasi sektor publik.  

Ditinjau dari aspek metodologis, metode penelitian yang digunakan dalam artikel jurnal sudah tepat yaitu penelitian hukum doktrinal (normatif) dengan fokus penelitian terhadap analisis hukum peraturan perundang-undangan yang relevan lalu mengaitkannya dengan realita sosial dan memberikan solusi untuk kedepannya.

Ditinjau dari hasil penelitian, artikel jurnal ini berhasil menjawab pertanyaan  yang menjadi rumusan masalah mengenai Compensation for Citizens Due to Poor Public Service Delivery: Viewed From the Perspective of Civil Rights. Hal tersebut dilihat bagaimana Laode Rudita sebagai penulis menjelaskan bahwa pelayanan publik merupakan hak asasi warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Hak yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang layak. Oleh karena itu, rakyat berhak menyuarakan ketidakpuasannya ketika haknya tidak terpenuhi. Dalam hal pelayanan publik, UU Pelayanan Publik telah mengatur mekanisme pengaduan untuk pelayanan yang tidak memenuhi standar. Namun, mekanisme pengaduan yang ada saat ini dinilai tidak efektif dan menjadi solusi yang kurang tepat. Laode berpendapat bahwa solusi alternatifnya berupa kompensasi. Dalam hal ini, pengulas setuju dengan penulis bahwa kompensasi dapat menjadi solusi alternatif untuk pengaduan pelayanan publik yang tidak efektif. Kompensasi dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat yang dirugikan akibat pelayanan yang tidak sesuai standar yakni dapat mengganti kerugian finansial yang dialami masyarakat, memberikan efek jera kepada penyedia layanan untuk meningkatkan kualitas pelayanannya serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem pelayanan publik

Namun, Pasal 50 UU Pelayanan Publik tidak mengatur secara eksplisit dan mengatakan bahwa mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dalam Keppres. Seiring dengan persoalan tersebut, tulisan ini juga memandang bahwa penetapan Keppres tentang ganti rugi pelayanan publik menjadi hal yang mendesak. Alasan pertama yaitu tanpa Keppres hampir tidak mungkin dapat diimplementasikannya mekanisme ganti rugi pelayanan publik karena UU bersifat abstrak dan umum, sedangkan Keppres bersifat konkret, hal ini sejalan dengan mekanisme ganti rugi  yang artinya bahwa yang dirugikan akibat pelayanan. Kedua, Keppres akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang ingin mendapatkan ganti rugi atas pelayanan publik yang tidak sesuai dengan standar. Kesimpulannya, Keppres dapat memberikan landasan hukum yang jelas untuk implementasi mekanisme ganti rugi pelayanan publik dan menghilangkan ketidakpastian hukum sehingga meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan mencegah perselisihan hukum terkait ganti rugi. Hasil dari artikel jurnal ini telah memberikan beberapa kontribusi signifikan bagi perkembangan hukum masyarakat pembangunan. Pertama, berkontribusi bagi pengembangan kebijakan regulasi pelayanan publik kedepannya. Kedua, dapat menekankan urgensi Keppres mengenai ganti rugi pelayanan publik. Ketiga, jurnal ini memberikan solusi konkrit untuk mengatasi permasalahan terkait Pelayanan Publik yang tidak memenuhi standar berupa mekanisme pengaduan dan kompensasi.