Bak Pisau Bermata Dua: UU ITE Memberikan Kepastian Hukum atau Alat Overcriminalization?

Oleh : Catharina Nikkari
Staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI

Belakangan ini, terjadi kasus mengenai perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang anggota TNI dari satuan Kesehatan Komando Daerah Militer IX/Udayana yaitu Lettu CKM drg. MHA. Kasus ini bermula sejak disampaikan oleh sang istri, AP, yang mengatakan bahwa suaminya telah berselingkuh dengan beberapa perempuan sejak tahun 2020. AP telah berupaya untuk melaporkan kasus ini kepada Polisi Militer Kodam IX/Udayana pada tahun 2023, tetapi putusan kasus tersebut justru menunjukkan bahwa MHA melakukan penelantaran terhadap keluarganya dan bukan perselingkuhan. Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menegaskan bahwa penelantaran terhadap keluarga merupakan suatu pengabaian terhadap kewajiban untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan terhadap keluarganya. Sedangkan perselingkuhan termasuk di dalam lingkup perzinaan yang diatur dalam Pasal 411 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh seorang pria yang telah kawin dengan wanita selain istrinya, dan hanya dapat dipidana atas pengaduan dari sang istri. Merasa tidak puas terhadap putusan yang dijatuhkan kepada MHA, AP berupaya kembali dengan menggunakan jasa pengacara untuk memviralkan kasus perselingkuhan suaminya melalui media sosial. Namun, bak pisau bermata dua, hal ini justru membawa hasil yang berbanding terbalik dengan keinginan AP, sebab AP ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana melanggar ketentuan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Penangkapan AP bermula dari unggahan Instagram pada akun @ayoberanilaporkan6 yang dikelola oleh HS, pengacara yang mendampingi AP dalam perkara pelaporan dugaan perselingkuhan suaminya. Dalam akun tersebut, terdapat setidaknya 31 unggahan yang berisikan bukti-bukti perselingkuhan MHA dengan seorang perempuan yang diduga bernama BA. Bukti-bukti tersebut terdiri atas foto, surat terbuka, serta rekaman percakapan, yang meliputi pihak MHA, AP, dan BA. Merasa tidak terima, BA melaporkan hal tersebut kepada polisi dengan nomor laporan LP/B/25/I/2024/SPKT/POLRESTA DENPASAR/POLDA BALI. Perlu diketahui bahwa BA adalah anak dari seorang Komisaris Besar Polisi. Ahmad Ramzy Ba’abud, penyidik Polresta Denpasar kemudian menetapkan AP sebagai tersangka beserta HS karena telah memviralkan kasus perselingkuhan MHA bersama BA, dengan mengunggah foto tanpa izin dari kedua pihak. Akan tetapi, perbuatan AP hanyalah bentuk dari pembelaan dirinya atas perbuatan yang telah dilakukan oleh MHA bersama BA menggunakan bukti yang dia miliki. Penangkapan AP memperlihatkan adanya penyalahgunaan UU ITE dengan terjadinya overcriminalization yang berpotensi merampas kebebasan berpendapat masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Pasal yang dikenakan terhadap perbuatan AP dan HS adalah Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juncto Pasal 20 KUHP Nasional. Bunyi dari Pasal 32 ayat (1) UU ITE adalah,
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.”

Menurut Agustinus Pohan, pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Pasal 32 UU ITE biasanya digunakan untuk kasus pencurian data atau dokumen rahasia yang kemudian di manipulasi. Berdasarkan pendapat beliau, terdapat ketidaksesuaian dalam penjatuhan hukuman terhadap AP dalam kasusnya. Jika meninjau unsur yang terkandung dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE, pasal a quo lebih patut digunakan untuk perbuatan penyalinan dan perubahan data orang lain, yang bukan dilakukan oleh AP. Ketidaksesuaian dalam penjatuhan pasal tersebut menunjukkan terjadinya penyalahgunaan UU ITE, yang berujung pada overcriminalization.

Selanjutnya, Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), mengatakan bahwa kasus-kasus seperti yang terjadi pada AP biasanya dikenakan Pasal 27 UU ITE tentang pencemaran nama baik, tetapi pasal tersebut telah direvisi karena dianggap bermasalah. Sebelum direvisi, Pasal 27 UU ITE ayat (3) memuat unsur “penghinaan” dan “pencemaran nama baik” yang merujuk pada Pasal 310 KUHP lama dan Pasal 433 KUHP Nasional yang akan berlaku pada tahun 2026. Meskipun demikian, masih belum terdapat batasan yang jelas mengenai kedua unsur tersebut. Pasal 310 KUHP ayat (1) mengatur tentang penyerangan kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum. Pada ayat (2) terdapat ketentuan tambahan mengenai perbuatan yang dilakukan melalui tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum. Namun, ayat (3) memberikan suatu pengecualian, yaitu “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.”

Pasal 27 UU ITE sendiri seringkali dianggap sebagai pasal karet sebab memiliki pengertian yang multitafsir dan bersifat subjektif. Hal tersebut berpotensi untuk mengakibatkan overcriminalization, dimana orang yang tidak bersalah berpotensi dipidana. Istilah overcriminalization sendiri dapat dikatakan sebagai kriminalisasi terhadap perbuatan yang tidak tercela, seperti ancaman pidana atau penegakan hukum yang berlebihan akibat ketidakjelasan rumusan suatu pasal. Tidak terdapat batasan yang jelas mengenai unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam pasal tersebut, sehingga penerapannya sangat bergantung terhadap bagaimana unsur tersebut ditafsirkan.

Menurut SAFEnet, selain Pasal 27, terdapat beberapa pasal lainnya dalam UU ITE yang juga dianggap menimbulkan kontroversi. Pasal tersebut terdiri atas Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (2) huruf a, Pasal 40 ayat (2) huruf b, dan Pasal 45 ayat (3). Pertama adalah Pasal 26 ayat (3) tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan, yang bermasalah soal sensor informasi. Kedua adalah Pasal 27 ayat (1) tentang Asusila, yang rawan digunakan terhadap korban kekerasan berbasis gender daring. Ketiga adalah Pasal 27 ayat (3) tentang Defamasi, yang rawan digunakan untuk membatasi kritikan terhadap pemerintahan, polisi, dan presiden. Keempat adalah Pasal 28 ayat (2) tentang Ujaran Kebencian, yang rawan digunakan untuk membatasi kritikan, terutama dari kelompok minoritas. Kelima adalah Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan, yang rawan digunakan untuk memidana orang yang hendak melapor ke polisi. Keenam adalah Pasal 36 tentang Kerugian, yang rawan digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi. Ketujuh adalah Pasal 40 ayat (2) huruf a tentang Muatan yang Dilarang, yang rawan digunakan untuk mematikan jaringan atas dalih memutus informasi hoaks. Kedelapan adalah Pasal 40 ayat (2) huruf b tentang Pemutusan Akses, yang mengutamakan peran pemerintah daripada putusan pengadilan. Terakhir adalah Pasal 45 ayat (3) tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi, yang membolehkan penahanan saat penyidikan.

Oleh karena itu, UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU ITE telah berupaya untuk mengubah pasal-pasal yang dianggap kontroversial tersebut. Salah satunya adalah Pasal 27, yang tidak lagi mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana sebelumnya. Dalam perubahannya, Pasal 27 kini mengatur tentang pelanggaran kesusilaan dan muatan perjudian. Selain itu, terdapat dua pasal tambahan, yakni pasal 27A dan Pasal 27B. Pasal 27A mengatur tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dan Pasal 27B mengatur tentang perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum melalui pemaksaan dengan ancaman kekerasan untuk: memberi suatu barang atau memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang. Meskipun demikian, pengesahan revisi UU ITE dianggap tidak transparan dan belum menutup potensi terjadinya kriminalisasi terutama bagi korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender daring. Pasalnya, masih terdapat banyak rumusan pasal yang tidak berpihak kepada korban, yang kerap digunakan untuk mengancam dan menghambat kebebasan berbicara terutama bagi korban yang bersuara di media sosial.

Berdasarkan Pasal 3 UU ITE, asas yang berlaku dalam UU ini adalah berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Selebihnya, Pasal 4 UU ITE menjelaskan tujuan dari UU ini, salah satunya yaitu yang terdapat di huruf e yakni “memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.” Namun, pada praktiknya adalah pasal-pasal yang terdapat dalam UU ITE seringkali digunakan sebagai alat untuk saling menyerang, seperti untuk balas dendam, membungkam kritik, ataupun untuk mempersekusi perorangan atau kelompok. Suatu pasal karet juga tidak sesuai dengan asas legalitas, dimana suatu ketentuan pidana harus jelas supaya bisa menimbulkan kepastian hukum. Selebihnya, suatu pasal juga harus bersifat objektif supaya tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak beritikad baik. Pasal yang bersifat multitafsir melanggar salah satu asas pembentukan perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni asas kejelasan rumusan. Berdasarkan penjelasannya, yang dimaksud dengan kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika, pemilihan kata, dan bahasa hukum yang jelas agar tidak menghasilkan interpretasi dan pelaksanaan yang bermacam-macam. Ketidakjelasan makna dalam suatu pasal mengakibatkan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan hanya akan merugikan masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan UU ITE tidak dapat berjalan sesuai dengan tujuannya, yaitu memberikan kepastian hukum.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), dan para aktivis lainnya, pasal-pasal karet yang terdapat dalam UU ITE menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran tersebut terpusat pada isu pembatasan kebebasan berbicara yang mengakibatkan terjadinya overcriminalization. Berdasarkan data yang diperoleh SAFEnet, selama periode 2013-2021 terdapat 393 orang yang dituntut dengan pasal dalam UU ITE. Sepanjang 2021, setidaknya terdapat 30 kasus pemidanaan dengan total 38 korban kriminalisasi. Meskipun sudah menurun dari tahun 2020 yang memakan korban sebanyak 84 orang, hal tersebut tidak serta-merta menunjukkan adanya perbaikan dalam hak kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan hak dari setiap orang yang terjamin dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), terkhususnya pasal 28E ayat 3. Korban kriminalisasi yang paling banyak adalah para pembela hak asasi manusia yang menyuarakan kepentingan publik yang lebih luas, yaitu aktivis sebanyak 26,3% dari total korban. Selanjutnya terdapat korban kekerasan dan pendampingnya sebanyak 21,1%, dan kalangan warga sebesar 18,4%. Selebihnya, korban yang terjerat UU ITE berasal dari kalangan jurnalis, akademisi, mahasiswa, buruh, politisi, dan organisasi masyarakat.

Dalam kasus ini, AP telah menjadi salah satu korban yang terjerat dengan UU ITE. Pasal 32 UU ITE yang dikenakan terhadap AP bisa disebut sebagai overcriminalization, dimana perbuatan AP hanyalah sebuah bentuk pembelaan diri dan ekspresi atas perasaannya. Seperti yang dikatakan dalam Pasal 28G UUD NRI Tahun 1945, setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari apapun yang mengancam kehormatan, martabat, maupun harta benda yang dimiliki dirinya. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya merupakan sesuatu yang mengancam martabat AP, sehingga AP berhak untuk melindungi dirinya dengan mencari keadilan. Overcriminalization yang terjadi pada AP menunjukkan ketidakselarasan dengan norma kebebasan menyampaikan perlindungan diri yang termuat dalam konstitusi. Melihat fakta yang terjadi, negara seharusnya dapat menjamin perlindungan atas dirinya AP dan membantu AP memperoleh keadilan, bukan justru menghukumnya.

Selebihnya, Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 juga mengatakan bahwa, setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia.” Maka dari itu, perbuatan AP yang mencari dan memviralkan bukti perselingkuhan suaminya merupakan bagian dari haknya untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Kebebasan berpendapat juga merupakan bagian dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang termuat dalam Pasal 19. Pasal tersebut mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk mempunyai dan mengeluarkan pendapat melalui media apa saja, tanpa mengalami gangguan. Dalam menjalani DUHAM, negara berperan sebagai pemangku kewajiban, yaitu untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak tersebut bagi warga negara sebagai pemangku hak. Overcriminalization yang terjadi pada AP menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi hak kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi yang dimiliki oleh AP.

Perbuatan AP yang memviralkan kasus perselingkuhan suaminya merupakan suatu bentuk pembelaan diri atas ancaman yang terjadi terhadap dirinya. Dalam upayanya untuk mencari keadilan, AP memanfaatkan sarana yang dimilikinya untuk memperoleh informasi dan bukti mengenai perselingkuhan tersebut, dan menyampaikannya melalui media yang tersedia. Dalam hal ini, perbuatan AP merupakan perbuatan yang dilindungi oleh UUD 1945 dan DUHAM, yaitu hak atas perlindungan diri, melalui kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi. Lagipula, bukti-bukti yang diperoleh oleh AP didapatkan oleh dirinya sendiri, dan bukan melalui cara yang melanggar hukum. Rekaman mengenai suatu peristiwa yang terjadi tidak tergolong sebagai penyadapan, sehingga dapat menjadi alat bukti yang sah. Hal tersebut adalah karena tidak terdapat transmisi informasi elektronik yang diintersep, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai tindakan pidana.
Pada saat ini, upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan pasal karet adalah dengan merevisi UU ITE melalui UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, revisi tersebut tidak memberikan solusi melainkan mempertahankan masalah yang ada. Muatan pada UU Nomor 1 Tahun 2024 sebagaimana disampaikan dalam argumen Mochtar Januar Rizki “masih memuat sejumlah pasal bermasalah dan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia.” Muhamad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan bahwa, UU ITE menunjukkan bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya rentan disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya transparansi dan keterlibatan publik dalam proses revisi, sehingga tidak terdapat ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengawasannya. Oleh karena itu, lahirlah peraturan yang menguntungkan elit semata tanpa memperhatikan perlindungan terhadap HAM. Sebaiknya, pasal-pasal yang bermasalah dihapuskan saja, atau diberikan batasan yang jelas dalam penerapannya.

Sebagai kesimpulan, pasal-pasal karet yang terdapat dalam UU ITE membuka ruang untuk terjadinya overcriminalization, oleh karena pengertiannya yang multitafsir dan sifatnya yang subjektif. Salah satu contoh nyata terjadinya overcriminalization akibat UU ITE adalah penjatuhan Pasal 48 ayat (1) kepada AP. Perbuatan AP hanyalah sebuah pembelaan diri dan upaya untuk mencari keadilan atas perselingkuhan yang dilakukan suaminya, namun ia justru dibungkam oleh salah satu pihak pelaku. AP telah menjadi salah satu dari sekumpulan orang yang telah dirugikan oleh berlakunya UU ITE, yang hanya menguntungkan elit dibandingkan perlindungan hak asasi manusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa UU ITE belum digunakan sesuai dengan tujuannya, dan belum dapat memberikan suatu kepastian hukum terhadap permasalahan nyata yang dihadapi oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Amandemen.
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU Nomor 11 Tahun 2008. LN Tahun 2008 No. 58, TLN No.4843.
Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. UU Nomor 1 Tahun 2023. LN Tahun 2023 Nomor 1, TLN Nomor 6842.
Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU Nomor 12 Tahun 2011. LN Tahun 2011 No. 82, TLN No. 5234.
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. UU Nomor 23 Tahun 2004. LN Tahun 2004 No. 95, TLN No. 4419.
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU Nomor 1 Tahun 2024. LN Tahun 2024 No.1, TLN No. 6905.
Universal Declaration of Human Rights (diadopsi 10 Desember 1948).

Jurnal
Dunan, Amri dan Bambang Mudjiyanto. “Pasal Karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Bermasalah.” Majalah Ilmiah Semi Populer Komunikasi Massa. Vol. 3, No. 1 (2022). Hlm. 26-37.
Tan, Kendry. “Analisa Pasal Karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Asas Kejelasan Rumusan.” Jurnal Hukum Samudra Keadilan. Vol. 17, No. 1 (2022). Hlm. 14-29.

Internet
Annur, Cindy Mutia. “Hampir 400 Orang Dituntut dengan UU ITE dalam 9 Tahun Terakhir.” Databoks.katadata.co.id, 18 Juli 2022. Tersedia pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/18/hampir-400-orang-dituntut-dengan-uu-ite-dalam-9-tahun-terakhir. Diakses pada tanggal 9 Mei 2024.
Aries, Albert. “Bisakah Rekaman Diam-Diam Percakapan Telepon Dijadikan Alat Bukti?” Hukumonline.com, 5 Oktober 2017. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/bisakah-rekaman-diam-diam-percakapan-telepon-dijadikan-alat-bukti-lt59c1ebe5c1c71/. Diakses pada tanggal 1 Juni 2024.
Auli, Renata Christha. “Ini Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang Dianggap Pasal Karet.” Hukumonline.com, 9 Januari 2024. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/ini-bunyi-pasal-27-ayat-(3)-uu-ite-yang-dianggap-pasal-karet-lt656dae151ec52/. Diakses pada tanggal 27 April 2024.
BBC News. “Kisah AP, Istri Anggota TNI yang Menjadi Tersangka karena Membongkar Dugaan Perselingkuhan Suaminya.” Bbc.com, 15 April 2024. Tersedia pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/cw4rx143enxo. Diakses pada tanggal 27 April 2024.
Jo, Beni. “Sosok MHA: Selingkuh, tapi Istri yang Jadi Tersangka.” Tirto.id, 16 April 2024. Tersedia pada https://tirto.id/sosok-lettu-agam-anggota-tni-ad-selingkuh-tapi-istri-dipenjara-gXPb. Diakses pada tanggal 27 April 2024.
Nastitie, Denty Piawai. “Revisi UU ITE Disetujui Disahkan, Celah Kriminalisasi Masih Terbuka.” Kompas.id, 5 Desember 2023. Tersedia pada https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/12/05/revisi-uu-ite-disetujui-celah-kriminalisasi-masih-terbuka. Diakses pada tanggal 1 Mei 2024.
Prasetyo, Aji. “Polemik UU ITE, Ini Daftar Pasal Kontroversi.” Hukumonline.com, 16 Februari 2021. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/polemik-uu-ite–ini-daftar-pasal-kontroversi-lt602b902891fcb/?page=all. Diakses pada tanggal 9 Mei 2024.
Rizki, Mochamad Januar. “Pasal Karet dalam UU ITE Terbaru Masih Mengancam Masyarakat yang Kritis.” Hukumonline.com, 5 Januari 2024. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/pasal-karet-dalam-uu-ite-terbaru-masih-mengancam-masyarakat-yang-kritis-lt6597e40be9b8c/. Diakses pada tanggal 9 Mei 2024.
Taqiyya, Saufa Ata. “3 Kewajiban Pokok Negara dalam Hukum HAM Internasional.” Hukumonline.com, 21 April 2022. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/3-kewajiban-pokok-negara-dalam-hukum-ham-internasional-lt62611e31941a4/. Diakses pada tanggal 30 Juni 2024.