Oleh: Ahmad Wiji Nusantara
Staf Magang Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI
Seorang mantan Menteri Perdagangan dari kabinet Presiden Joko Widodo pada tahun 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong, diduga melakukan tindakan korupsi pada masa jabatannya. Thomas dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Dilansir dari Koran Tempo, Tom Lembong memberi izin impor gula kristal mentah (raw sugar) sebesar 105 ribu ton ke PT Angels Products (AP) untuk diolah menjadi gula kristal putih pada tahun 2015.
Kebijakan tersebut menimbulkan kerugian negara sebesar Rp400.000.000.000 (empat ratus miliar rupiah). Hal yang mendasari dugaan tersebut adalah bahwa Tom Lembong telah melakukan perizinan impor gula pada saat kuantitas gula yang mengalami surplus di tahun 2015 dari hasil rapat koordinasi antar kementerian pada 12 Mei 2015. Menurut Kejaksaan, terdapat dua hal yang dilanggar dalam pemberlakuan kebijakan tersebut. Pertama, izin impor gula dilakukan tanpa melalui koordinasi dengan instansi lain. Kedua, hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diperbolehkan melakukan impor gula kristal mentah. Tuduhan pelanggaran dua hal tersebut didasari oleh Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/KEP/9/2004 Tahun 2004.
Penetapan tersangka ini diumumkan Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024. Tanggal pengumuman penetapan tersangka tersebut berdekatan dengan tanggal pelantikan presiden Republik Indonesia periode 2024-2029, yakni tanggal 20 Oktober 2024. Faktanya posisi Tom Lembong saat itu merupakan salah satu tim sukses pasangan capres-cawapres Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar yang merupakan oposisi dari Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilihan Umum 2024.
Banyak pihak merasakan adanya berbagai kejanggalan dalam dugaan tersebut. Mereka menganggap bahwa kebijakan yang dilakukan oleh Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong pada masa jabatannya tidak melanggar peraturan yang berlaku dan pemberatannya dianggap mengada-ada. Bahkan tidak sedikit yang merasa bahwa fenomena ini tidak lepas dari politisasi hukum oknum tertentu dan menganggap bahwa tuduhan ini hanyalah kriminalisasi. Namun, jika melihat lebih jauh, persoalan ini seharusnya tidak hanya fokus pada Tom Lembong seorang diri. Tom Lembong ditangkap atas dasar kebijakan impor gula yang ia lakukan saat menjabat sebagai seorang menteri. Oleh karena itu, sewajarnya tidak hanya masalah yang terjadi pada Tom Lembong saja yang diperiksa, tetapi juga dilakukan pemeriksaan beberapa menteri sebelumnya atau bahkan sesudahnya yang juga menetapkankebijakan yang sama. Hal ini menjadi penting karena masalah yang ada seharusnya dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab jabatan, bukan hanya individu tertentu. Dengan demikian, dalam menganalisis isu terkait tuduhan kejaksaan terhadap Tom Lembong, penggunaan pendekatan normatif saja tidak cukup, melainkan juga diperlukan pendekatan sosio-legal, terutama yang berkaitan dengan kemungkinan adanya politisasi hukum dalam kasus ini.
Tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum termuat dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang tersebut telah dirumuskan 30 jenis tindak pidana korupsi. Dari 30 jenis tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tujuh jenis korupsi yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Secara garis besar, tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan baik perorangan maupun korporasi dan bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Perbuatan ini kadang kala melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan. Perbuatan ini dapat menghambat pembangunan ekonomi serta menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Undang-undang mengenai korupsi tercantum dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikenal sebagai UU Tipikor , dalam kasus ini dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.”
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.”
Perbedaan dari Pasal 2 dan Pasal 3 terdapat pada status kewenangan yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, pasal-pasal tersebut menitikberatkan unsur tindakan korupsi dengan kalimat “…merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” dan tidak menunjukkan kedudukan mens rea sebagai unsur dalam melakukan tindakan korupsi. Menurut Peneliti PSHK, Miko Susanto, tidak sedikit kasus yang ketika dianalisis sebenarnya bukan tindakan korupsi karena tidak ada maksud jahat untuk melakukan korupsi. Namun ada prosedur administratif yang diabaikan, atau ada unsur-unsur di luar niat jahat terdakwa itu dianggap sebagai unsur. Dalam konteks kasus Tom Lembong, pada waktu itu ia sedang menjabat sebagai menteri perdagangan, sehingga kasus ini mengikutsertakan Pasal 3 UU Tipikor karena terdapat unsur kewenangan yang dimiliki oleh Tom Lembong.
Unsur-unsur materiil yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor secara garis besar antara lain adalah:
Kemudian unsur dalam Pasal 3 UU Tipikor menekankan terhadap penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana.
Pembahasan mengenai terpenuhinya unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tom Lembong dapat ditinjau dari peraturan mengenai impor gula yang berlaku pada masa jabatan Tom Lembong sebagai menteri perdagangan, yakni Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/KEP/9/2004 Tahun 2004. Kejaksaan berpendapat terdapat dua hal yang dilanggar dalam pemberlakuan kebijakan impor gula oleh Tom Lembong. Pertama, izin impor gula dilakukan tanpa melalui koordinasi dengan instansi lain dan Kedua, hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diperbolehkan melakukan impor gula kristal mentah.
Dalam Pasal 7 ayat (6) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/KEP/9/2004 yang berbunyi:
“Jumlah Gula yang perlu diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
ditentukan berdasarkan hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan
asosiasi terkait setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana dimuat
dalam ayat (4) dan ayat (5).”
Pada pasal tersebut disebutkan mengenai keputusan jumlah gula yang perlu diimpor harus ditentukan berdasarkan hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait. Namun dalam pasal tersebut juga menyatakan bahwa pasal tersebut merujuk pada ayat (4) dan ayat (5) pasal 7 yang keduanya membahas mengenai Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar), bahkan keseluruhan pasal 7 secara khusus membahas mengenai Gula Kristal Putih. Sedangkan dalam kasus ini, kebijakan yang diberlakukan oleh Tom Lembong adalah mengenai Gula Kristal Mentah (Raw Sugar) sehingga tidak bisa secara langsung diberlakukan aturan tersebut.
Selain itu terdapat pula Pasal 12 ayat (1) yang berbunyi
“Setiap importasi Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) oleh IT Gula harus mendapat persetujuan impor terlebih dahulu dari Direktur Jenderal”
Pasal ini menyatakan bahwa yang memerlukan persetujuan dari Direktur Jenderal hanya berlaku bagi Gula Kristal Putih. Artinya, berdasarkan peraturan Ketentuan Impor Gula Tahun 2004, rapat koordinasi dan persetujuan impor hanya berlaku untuk impor gula kristal putih. Hal ini disebabkan karena secara konstruksi hukum argumentum a contrario aturan ini tidak bisa dipersamakan untuk Gula Kristal Mentah. Dalam Pasal 1 Keputusan Nomor 527/MPP/KEP/9/2004 telah dibedakan antara Gula Kristal Mentah dengan Gula Kristal Putih, sehingga kembali kepada postulat keadilan yang menyatakan bahwa peristiwa yang tidak sama diperlakukan tidak sama.
Sedangkan untuk periode jabatan setelah tahun 2015, perizinan impor menggunakan dasar hukum Peraturan Menteri Perdagangan No. 117/M-DAG/PER/12/2015. Disebutkan dalam pasal 5 pada keputusan tersebut bahwa impor Gula Kristal Mentah/Gula Kasar (Raw Sugar) harus mendapat persetujuan dari menteri yang kemudian dimandatkan kepada Direktur Jenderal. Namun sepertinya dalam periode ini tidak ditemukan adanya pelanggaran terhadap hukum karena faktanya Tom Lembong hanya dituduh melakukan tindak pidana korupsi terkait impor gula kristal mentah untuk PT Angels Products pada tahun 2015. Dengan demikian, tuduhan kejaksaan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Tom Lembong tidak terbukti melakukan tindakan melawan hukum sehingga tidak memenuhi unsur-unsur materiil dari pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor.
Analisis mengenai anggapan publik bahwa tuduhan kasus korupsi terhadap Tom Lembong hanyalah kriminalisasi dan politisasi hukum perlu diklarifikasi menggunakan pendekatan sosio legal. Reza Banakar, seorang profesor sosiologi hukum, menyatakan bahwa pendekatan sosio-legal merupakan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan studi hukum dengan ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu politik, untuk memahami bagaimana hukum diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Esensi pendekatan sosio legal adalah melihat interaksi hubungan hukum dan masyarakat serta bagaimana hukum dipraktikkan, diterima, atau diubah oleh dinamika sosial dan politik yang ada. Namun, dalam isu ini, penulisakan lebih memfokuskan pada aspek politik.
Jika berbicara mengenai politik dan hukum dalam konteks dewasa ini, maka akan ditemukan bahwasanya politik itu selalu determinan dibandingkan hukum. Hal ini menjadikan hukum menjadi lebih mudah untuk dipolitisasi. Mahfud M.D., mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dalam kuliah umumnya di USM menyatakan bahwa politisasi hukum adalah kondisi ketika hukum dijadikan masalah politik. Hal ini juga berarti bahwa menjadikan hukum sebagai alat politik untuk kepentingan golongan. Politisasi hukum di Indonesia kerap kali terjadi pada masa pemilu dan biasanya dilakukan saat melakukan kampanye. Kampanye sendiri merupakan sebuah strategi komunikasi politisi yang bertujuan untuk mendapatkan suara dari masyarakat untuk mendukungnya. Budaya politisasi kasus sepertinya memang merupakan bagian dari strategi kampanye negatif yang dimiliki oleh pasangan calon yang berusaha untuk melumpuhkan pasangan calon pesaingnya. Tidak mengherankan jika politisasi kasus sering digunakan dalam berkampanye, karena dengan membicarakan keburukan pihak lain maka akan memberikan kesan sebagai sosok yang pantas untuk mendapatkan suara masyarakat.
Banyak indikator yang mendasari anggapan politisasi hukum oleh publik terhadap kasus korupsi Tom Lembong. Mahfud M.D. mengatakan, kasus Tom Lembong dianggap mengandung nilai politis karena kasus korupsi dalam impor gula tersebut terjadi sudah lama. Namun, kasusnya baru dipersoalkan saat ini. Selain itu adanya penolakan Kejaksaan Agung terhadap permohonan pihak Tom Lembong untuk memeriksa lima Mendag lainnya, satu menteri yang menjabat sebelumnya dan empat menteri setelahnya, menambah kecurigaan publik akan dugaan kriminalisasi Tom Lembong. Hal ini disebabkan bahwa surat penetapan Tom sebagai tersangka yang dikeluarkan Kejagung memuat keterangan rentang waktu pengusutan dugaan korupsi dalam bidang tersebut pada periode 2015-2023.
Dengan adanya waktu pengusutan korupsi dalam surat penetapan tersebut seharusnya pihak kejaksaan juga turut memeriksa para Mendag yang diajukan oleh pihak Tom Lembong karena faktanya Tom hanya menjabat sebagai menteri perdagangan mulai 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016. Kasus yang menjerat Tom Lembong dinilai sumir atau abstrak, melihat proses yang dilakukan tidak transparan dan cenderung ditutup-tutupi. Kejagung bahkan tidak membeberkan kronologi mengenai penanganan kasus korupsi impor gula Tom Lembong. Kronologis kasus korupsi ini penting untuk diketahui masyarakat. Dengan mengetahui proses penanganan kasus korupsi ini, publik menjadi tau alasan dari penetapan tersangka ini dan sejak kapan kasus ini dilaporkan. Dengan demikian tidak ada lagi prasangka publik terhadap aparat penegak hukum dalam kasus ini karena menurut Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana Bonaprapta, adanya transparansi soal kronologi kasus itu penting untuk meyakinkan publik bahwa penyidikan tersebut adalah murni penegakan hukum.
Tuduhan yang diajukan oleh Kejaksaan Agung terhadap Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, atas dugaan korupsi dalam kebijakan impor gula, sangat diragukan dan tidak bisa dibenarkan begitu saja. Kebijakan yang diterapkan oleh Tom Lembong pada tahun 2015 mengenai izin impor gula kristal mentah (raw sugar) sebesar 105 ribu ton sebenarnya tidak melanggar peraturan yang ada. Peraturan yang digunakan oleh Kejaksaan Agung untuk menjeratnya, yaitu Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/KEP/9/2004 Tahun 2004, secara eksplisit mengatur impor gula kristal putih, bukan gula kristal mentah. Oleh karena itu, kebijakan impor yang diambil oleh Tom Lembong tidak berhubungan dengan peraturan tersebut serta tidak adanya indikasi perbuatan melawan hukum oleh Tom Lembong.
Banyak pihak yang melihat ini sebagai upaya kriminalisasi dan politisasi hukum, terutama mengingat Tom Lembong sebagai salah seorang tim sukses pasangan calon presiden Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, yang merupakan oposisi dari pasangan terpilih Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Publik merasa bahwa tuduhan ini adalah bagian kampanye untuk melemahkan pihak yang berseberangan dengan kekuasaan yang sedang berkuasa.Selain itu, terdapat juga inkonsistensi selama proses penetapan Tom Lembang sebagai tersangka dalam kasus ini, yakni pemeriksaan Tom Lembong yang hanya mencakup periode jabatan Tom Lembong pada 2015-2016, sementara pengacara Tom yaitu Dodi S. Abdulkadir menyatakan bahwa dalam surat penetapan Tom sebagai tersangka, objek pengusutan kasus ini akan dilakukan sejak 2015 hingga 2023. Walaupun terdapat ketidaksesuaian yang sangat fatal dan menimbulkan banyak pertanyaan perihal kejelasan kasus ini, Kejaksaan Agung tetap menolak permohonan pihak Tom Lembong untuk memeriksa Menteri-Menteri Perdagangan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya upaya untuk menutupi kasus yang malah memicu spekulasi negatif masyarakat terhadap kasus penangkapan Tom Lembong.
Selain adanya indikasi inkonsistensi selama proses penetapan tersangka, Kejaksaan Agung juga dinilai kurang transparan dalam menangani kasus ini. Kronologi penanganan kasus korupsi impor gula yang melibatkan Tom Lembong tidak dipaparkan dengan jelas kepada publik, yang menambah keraguan terhadap penyidikan yang netral. Tanpa transparansi yang memadai, masyarakat tidak bisa memahami alasan di balik penetapan Tom Lembong sebagai tersangka atau mengapa kasus ini baru diproses setelah sekian lama. Proses hukum yang tidak transparan ini justru membuka ruang bagi spekulasi dan anggapan bahwa penetapan tersangka ini lebih berorientasi pada tujuan politik tertentu, daripada penegakan hukum yang objektif dan adil.
Terlepas dari banyaknya kekurangan yang timbul dari awal dilakukannya penyelidikan hingga penetapan tersangka, proses hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tetap harus dihormati dengan catatan harus berdiri sendiri dan objektif tanpa adanya intrik politis di dalamnya dengan harapan agar para penegak hukum bisa lebih transparan dalam menangani sebuah kasus sehingga masyarakat menjadi yakin dan percaya bahwa penyidikan tersebut adalah murni penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No. 140 TLN No. 3874.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tentang Ketentuan Impor Gula. Kepmendag nomor 527/MPP/Kep/9/2004.
Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Impor Gula. Permendag nomor 117/M-DAG/PER/12/2015.
Internet
Achmad, Nirmala Maulana dan Dani Prabowo. “ Susunan Tim Pemenangan Anies-Muhaimin: Ada Eks Kabasarnas, Thomas Lembong, dan Ki Anom Suroto.” Kompas.com, 14 November 2023. Tersedia pada https://nasional.kompas.com/read/2023/11/14/11360741/susunan-tim-pemenangan-anies-muhaimin-ada-eks-kabasarnas-thomas-lembong-dan?page=all. Diakses pada 10 Desember 2024.
FNH. “Sekali Lagi, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.” Hukumonline.com, 22 April 2016. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/sekali-lagi–pasal-2-dan-pasal-3-uu-tipikor-lt5719ec2e3894a/ . Diakses pada 25 November 2024.
Sudirdja, Rudi Pradisetia. “Membaca KUHP Nasional dengan Pendekatan Socio-Legal.” Hukumonline.com, 7 Oktober 2024. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/membaca-kuhp-nasional-dengan-pendekatan-socio-legal-lt6702c39d3c950/?page=1, Diakses pada 25 November 2024.
Munthe, Mhd. Erwin . “Politik Dan Hukum: Siapa Yang Mempengaruhi, Siapa Yang Dipengaruhi.” STIE Syariah Bengkalis, 4 Oktober 2018. Tersdia pada https://www.stiesyariahbengkalis.ac.id/kolompikiran-19-politik-dan-hukum-siapa-yang-mempengaruhi-siapa-yang-dipengaruhi.html . Diakses pada 25 November 2024.
Warta USM. “Kuliah Umum di USM, Prof Mahfud MD: Politik Hukum dan Politisasi Hukum Itu Berbeda.” Universitas Semarang, 4 September 2022. Tersedia pada https://warta.usm.ac.id/kuliah-umum-di-usm-prof-mahfud-md-politik-hukum-dan-politisasi-hukum-itu-berbeda/ . Diakses pada 26 November 2024.
Panggabean, Ruben Sandi Yoga Utama. “Budaya Politisasi Kasus.” Kompas.id, 19 Desember 2023. Tersedia pada https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/18/budaya-politisasi-kasus. Diakses pada 26 November 2024.
Sari, Haryanti Puspa dan Diamanty Meiliana. “ Mahfud Anggap Kasus Tom Lembong Sarat Politisasi, Ini Alasannya.” Kompas.id, 21 November 2024. Tersedia pada https://nasional.kompas.com/read/2024/11/21/22163051/mahfud-anggap-kasus-tom-lembong-sarat-politisasi-ini-alasannya. Diakses pada 26 November 2024.
Tim detikcom. “ Penegasan Jaksa Tak Akan Periksa 5 Mendag Lain di Kasus Tom Lembong.” Detik.com, 19 November 2024. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-7646865/penegasan-jaksa-tak-akan-periksa-5-mendag-lain-di-kasus-tom-lembong. Diakses pada 27 November 2024.
Achyar. “Diduga Ada Kejanggalan Dalam Proses Penyidikan Tom Lembong, Pakar Minta Kejagung Bongkar Kronologi.” Tvonenews.com, 8 November 2024. Terdapat pada https://tvonenews.com/berita/nasional/265191-diduga-ada-kejanggalan-dalam-proses-penyidikan-tom-lembong-pakar-minta-kejagung-bongkar-kronologi?page=all. Diakses pada 27 November 2024.
Tim detikcom. “ Penegasan Jaksa Tak Akan Periksa 5 Mendag Lain di Kasus Tom Lembong.” Detik.com, 19 November 2024. Tersedia pada https://news.detik.com/berita/d-7646865/penegasan-jaksa-tak-akan-periksa-5-mendag-lain-di-kasus-tom-lembong. Diakses pada 27 November 2024.