An Evaluation of the Selection Mechanism of Constitutional Judges in Indonesia and South Korea

Nama Jurnal :  Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum

Pengarang :  Iwan Satriawan, Seokmin Lee, Septi Nur Wijayanti, Beni Hidayat

Tahun :  2023

Diulas oleh : Santa M. Silalahi 

Pendahuluan

Beberapa tahun kebelakang, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan khususnya Mahkamah Konstitusi (MK) menurun drastis. Hal tersebut dipicu oleh banyaknya pelanggaran yang terjadi di internal MK itu sendiri. Jenis pelanggaran yang paling sering terjadi adalah pelanggaran kode etik dan korupsi. Pada tahun 2011, seorang hakim MK yaitu Arsyad Sanudi terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan terbukti bersalah. Pada tahun 2013, Akil Mochtar yang merupakan hakim MK juga terbukti melakukan korupsi. Lebih lanjut, pada tahun 2016 Arief Hidayat yang merupakan ketua dari MK pada saat itu juga terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Arief terbukti melakukan pelanggaran karena memerintahkan seorang jaksa junior agar memperlakukan temannya secara khusus. Tidak berhenti sampai disitu, Patrialis Akbar yang juga merupakan salah satu Hakim MK terlibat menerima gratifikasi pada saat menangani kasus pengujian Undang-Undang (UU) pada tahun 2017. Pada tahun 2018, Arief Hidayat kembali terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Kabar terbaru pada tahun 2023, kasus pelanggaran etik kembali dilakukan oleh hakim MK, yaitu Guntur Hamzah.

Kasus yang telah dijabarkan sebelumnya merefleksikan bahwasanya MK telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan adanya reformasi di tubuh MK untuk merespons keadaan demikian. Melihat dari kasus-kasus yang terjadi, permasalahan utama pada MK adalah integritas para hakim. Dalam rangka menyelesaikan permasalahan tersebut, solusi yang dapat dijadikan pilihan adalah mengubah proses seleksi hakim MK. Terkait solusi tersebut, Indonesia dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi proses seleksi hakim di Korea Selatan dengan model sidang konfirmasi yang terpusat di parlemen. Proses seleksi tersebut lebih menjamin transparansi dan akuntabilitas dari para calon hakim.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Lalu, penelitian ini juga membandingkan proses seleksi hakim konstitusi antara Indonesia dengan Korea Selatan. Lebih lanjut lagi, penelitian ini juga menyajikan data-data yang nantinya akan menjawab tujuan penelitian ini. Adapun data–data yang disajikan merupakan berupa bahan hukum primer yang terdiri atas konstitusi negara Indonesia, konstitusi negara Korea Selatan, dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) serta bahan hukum sekunder yang berupa buku dan artikel jurnal terkait. 

 

Pembahasan 

Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga negara yang erat perannya dalam memenuhi keadilan. Salah satu lembaga peradilan tersebut adalah MK, yang merupakan lembaga independen dan tidak dapat diintervensi oleh lembaga lainnya dalam mengeluarkan putusan, termasuk eksekutif dan legislatif. Pengertian tersebut menjadi landasan krusial bagi hakim-hakim MK untuk berkomitmen dalam bersikap independen agar terhindar dari setiap pelanggaran yang berpotensi merugikan bangsa dan negara. Namun, pada kenyataannya lembaga peradilan tersebut justru terselenggara jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat. 

Dewasa ini terjadi banyak kasus pelanggaran kode etik dan korupsi yang melibatkan hakim MK itu sendiri. Hakim-hakim MK yang dipercaya sebagai lembaga yang dapat memberikan keadilan bagi masyarakat justru tidak berperilaku sesuai standar UU tentang MK. Seharusnya MK menjadi lembaga independen dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Independensi MK sejatinya dapat diukur dari dua aspek, yaitu aspek de jure dan de facto. Aspek de jure diartikan sebagai aspek hukum formil, yaitu sejauh mana konstitusi dan undang-undang dapat melindungi dan menjamin peran hakim sebagai hakim yang independen. Sementara itu, de facto merupakan konsepsi tingkah laku hakim, yaitu kesesuaian tindakan hakim dengan konstitusi dan undang-undang. Dengan demikian, aspek de jure dan de facto tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. 

Sebagai lembaga pelaksana kehakiman, MK harus mampu memberikan keadilan dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, keadilan, imparsialitas, independensi, dan akuntabilitas. Pemenuhan prinsip-prinsip tersebut selayaknya diterapkan sejak pemilihan hakim di MK. Terkait pemilihan hakim MK, dasar hukum yang berlaku di Indonesia diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) juncto Pasal 18 ayat (1) UU MK. Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa Hakim MK harus berjumlah sembilan orang. Komposisi dari kesembilan hakim MK diusulkan oleh tiga lembaga negara lainnya, yaitu Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Agung (MA). Setiap lembaga tersebut dapat mengajukan tiga nama calon hakim yang akan mengemban tugas dan tanggung jawab di MK. 

Mekanisme pemilihan nama calon hakim MK dari setiap lembaga berbeda satu dengan yang lainnya. Proses seleksi hakim di DPR memiliki beberapa tahapan pengangkatan hakim MK. Tahapan tersebut diawali dengan pembentukan tim panel ahli sembari menunggu adanya bakal calon yang mendaftar. Nantinya, tim panel akan menyeleksi para bakal calon melalui uji kelayakan dan kepatutan. Hasil seleksi dari tim panel tersebut kemudian akan dibawa ke dalam rapat internal dan seleksi kembali dilakukan hingga tersisa tiga nama. Ketiga nama yang tersisa dibawa ke dalam rapat paripurna untuk dimintai persetujuan sebelum akhirnya diserahkan kepada presiden. Terkait sistem seleksi DPR tersebut, terdapat setidaknya dua kekurangan, yaitu pemilihan di DPR yang tidak menggunakan sistem merit dan tidak adanya dengar pendapat publik dalam menjalankan peran representasi DPR sebagai wakil rakyat. Alasan pertama dapat dibuktikan dengan besarnya kepentingan politik dalam proses seleksi di DPR. Sebagai contoh, pengajuan calon hakim Akil Mochtar yang merupakan mantan ketua MK untuk kedua kalinya disinyalir dapat terlaksana karena dukungan politiknya yang kuat dan bukan berdasarkan penilaian. Alasan kedua dapat dilihat dalam pencalonan Arief Hidayat sebagai hakim MK,. Dalam pencalonan tersebut, DPR mengabaikan permohonan pakar hukum dan LSM yang menolak pengajuan pencalonan Arief Hidayat karena pernah terbukti melanggar kode etik. 

Berbeda halnya dengan DPR dalam melakukan penyeleksian nama hakim MK, MA melakukannya secara tertutup oleh panitia internal. Panitia internal penyeleksian hanya mengumumkan secara internal di situs daring MA untuk pendaftarannya. Kemudian seleksi wawancara kandidat dengan menegaskan pemahaman mereka terkait Hukum Tata Negara (HTN), hukum acara dan kode etik. Terkait proses di MA ini,  tidak ada penilaian khusus yang digunakan untuk menentukan calon yang dicalonkan oleh MA. Apabila dianalisis, mekanisme yang dimiliki MA memiliki kelemahan karena tidak terdapat keterlibatan masyarakat dalam proses seleksi. Dapat dikatakan bahwa proses yang dilakukan oleh MA minim transparansi. 

Mekanisme yang dimiliki oleh DPR dan MA berbeda dengan proses seleksi yang dilakukan oleh presiden.  Presiden akan memulai proses seleksi dengan meminta nama calon dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Lalu, Presiden akan menghubungi dan menanyakan kesediaan dari masing-masing calon untuk menjadi hakim MK. Presiden akan membentuk dewan untuk proses seleksi dan pemanggilan calon tersebut. Nantinya, dewan yang telah dibentuk oleh presiden akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan sebelum menjaring sembilan nama terpilih. Pada akhir proses, presiden akan memilih tiga nama untuk diangkat sebagai hakim MK.

Apabila melihat dari mekanisme seleksi hakim MK di Indonesia yang sudah dijelaskan di atas, masih terdapat kemungkinan terpilihnya hakim yang tidak sesuai harapan. Oleh karena itu, terdapat tiga hal yang perlu dievaluasi dari mekanisme seleksi hakim MK yang diterapkan oleh Indonesia. Pertama, mekanisme seleksi yang tidak transparan akan menyebabkan hakim yang terpilih kemungkinan besar tidak memiliki integritas yang tinggi. Pada dasarnya, tidak transparannya proses tersebut memungkinkan masuknya intervensi dalam pemilihan hakim. Kedua, dalam hal uji kompetensi akademik, masih menjadi pertanyaan bersama terkait mekanisme seleksi tersebut akan menghasilkan hakim konstitusi yang lebih kompeten atau sebaliknya. Ketiga, adanya distribusi mekanisme seleksi diantara tiga lembaga tinggi negara mengakibatkan pencalonan hakim MK dilakukan oleh masing-masing lembaga dan dipengaruhi oleh lembaga negara lainnya. 

Dalam upaya menyelesaikan masalah dalam tubuh MK tersebut, Indonesia dapat berkaca kepada Korea Selatan. Fakta tersebut berhubung status MK Korea dapat dikatakan sebagai salah satu yang penting dan berpengaruh di dunia. Adapun salah satu hal yang membedakan mekanisme seleksi antara Indonesia dan Korea adalah sidang konfirmasi. Indonesia tidak menerapkan sidang konfirmasi seperti yang Korea Selatan lakukan. Sidang konfirmasi adalah suatu pertemuan dengan tujuan untuk memutuskan apakah suatu jabatan pemerintahan tingkat tinggi dapat diberikan kepada seseorang yang telah diusulkan tersebut atau tidak. Selain itu, masih terdapat dua perbedaan lain terkait mekanisme pemilihan hakim MK di Indonesia dan Korea Selatan. Pertama, proses pengukuhan calon di Indonesia dilakukan oleh Presiden, sedangkan Korea Selatan melakukan proses pengukuhan tersebut di parlemen. Hal tersebut disebabkan Korea Selatan melihat parlemen sebagai wakil rakyat. Kedua,  Indonesia tidak menerapkan proses dengar pendapat konfirmasi, sedangkan Korea Selatan melakukannya. Padahal, proses dengar pendapat konfirmasi yang dilakukan di Korea Selatan lebih bersifat terbuka, transparansi, dan akuntabel. 

 

Penutup

Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi lembaga yang independen dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Namun, MK justru sering sekali berada jauh dari spirit UU MK. Begitu banyak kasus pelanggaran kode etik dan korupsi yang terjadi dan melibatkan hakim MK itu sendiri. Hal tersebut tentunya merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Proses seleksi hakim MK di Indonesia melibatkan tiga lembaga negara, yaitu: presiden, DPR, dan MA. Namun, proses seleksi yang diterapkan tersebut memiliki kekurangan, seperti kurangnya transparansi dan keterlibatan masyarakat di dalamnya. Hal tersebut sangat memengaruhi kualitas hakim yang terpilih nantinya. Terdapat kekhawatiran terkait kualitas integritas hakim yang terpilih dan sejauh mana uji kompetensi akademik dapat menghasilkan yang  kompeten. Untuk mengatasi masalah tersebut, Indonesia dapat mempertimbangkan mekanisme seleksi hakim MK di Korea Selatan,  seperti implementasi sidang konfirmasi dan proses dengar pendapat konfirmasi yang terbuka, transparan, dan akuntabel. 

 

Catatan Kritis

Ditinjau dari aspek teoritis, konsep-konsep yang dibahas dalam artikel jurnal berjudul An Evaluation of the Selection Mechanism of Constitutional Judges in Indonesia and South Korea yang ditulis oleh Iwan Satriawan, Seokmin Lee, Septi Nur Wijayanti, Beni Hidayat sudah cukup komprehensif yang dibuktikan dengan terjawabnya seluruh rumusan masalah yang ada dengan informasi yang detail, jelas, dan menyeluruh.     

Ditinjau dari aspek metodologis, metode penelitian yuridis normatif sudah sesuai dengan tujuan penelitian dan untuk metode studi hukum empirisnya juga sudah sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan studi hukum empiris karena penelitian ini tujuannya untuk memberikan perbandingan mengenai mekanisme seleksi proses pemilihan hakim MK di Indonesia dan Korea Selatan disertai dengan dasar hukum dan perbandingan yang jelas. 

Ditinjau dari hasil penelitian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai kualitas integritas para hakim MK yang terbukti banyak melanggar aturan dan etika yang berlaku. Adapun dampak dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para hakim MK banyak merugikan negara dan juga merusak citra MK sendiri di masyarakat. Banyak dari masyarakat sudah tidak percaya lagi akan kinerja MK sebagai lembaga peradilan. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, integritas di dalam diri seseorang sangat diperlukan agar dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Sama halnya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai hakim MK, hakim-hakim yang memiliki integritas tinggi dan juga berkompeten sangat diperlukan agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk dapat menghasilkan hakim MK yang berkompeten adalah dengan memperhatikan proses seleksinya. Hasil penelitian yang dilakukan Iwan Satriawan dkk. menunjukkan bahwa sistem seleksi hakim MK Indonesia masih memiliki terdapat banyak kekurangan dibandingkan dengan sistem seleksi hakim MK Korea Selatan. Oleh karena itu, Indonesia dapat mempertimbangkan untuk menerapkan sistem seleksi hakim yang dilakukan oleh MK Korea Selatan.