Oleh : Arvin Rumbiak dan Benedikta Tiara Suryaningtyas
Staf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI
“PAPUA BUKAN TANAH KOSONG.” Kalimat tersebut tercantum di salah satu spanduk saat berlangsungnya aksi damai depan gedung Mahkamah Agung, akhir Mei lalu. Aksi damai tersebut merupakan wujud perjuangan Suku Awyu untuk mempertahankan hak ulayat atas tanah mereka. Semuanya bermula dari sebuah mega proyek perkebunan sawit bernama Proyek Tanah Merah, dengan luas proyek mencapai 280.000 hektar. Proyek tersebut membentang dari sungai Digul sampai sungai Mappi yang merupakan wilayah tempat tinggal Suku Awyu. Izin proyek tersebut diberikan kepada tujuh perusahaan, salah satunya PT ESK. Pada April 2017, Fabianus Senfahagi (Ketua lembaga masyarakat adat Boven Digoel), mengalihkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas 39.190 hektar dari PT ESK kepada PT IAL tanpa sepengetahuan masyarakat Suku Awyu. Padahal, proyek tersebut bukan hanya akan menggunduli hutan tempat tinggal Suku Awyu melainkan juga akan merusak ekosistem dan berpotensi menciptakan 23 juta ton karbondioksida.
Suku Awyu Sebagai Masyarakat Adat
Suku Awyu adalah salah satu dari sekian banyak suku asli Papua. Kehidupan Suku Awyu sangat bergantung pada tanah, hutan, dan sungai di sekitar tempat mereka tinggal. Mereka masih melakukan praktik memburu hewan liar, memancing di sungai, dan juga mengambil hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Bagi mereka, hutan dan tanah tempat tinggal itu lebih dari sekadar tempat tinggal. “Tanah itu adalah Mama dan asal kami juga dari tanah, dan hutan itu tidak boleh dijual, hutan itu untuk hidup,” ucap Mama Laurensia Yame–salah satu perempuan Suku Awyu–saat diwawancarai oleh Project Multatuli dalam sebuah film dokumenter berjudul Mama Lihat Awan Jatuh.
Sebagai suku asli Indonesia dari Papua dengan hukum, adat istiadat, dan daerah khusus yang telah dipertahankan secara turun temurun, Suku Awyu dapat dikatakan sebagai masyarakat adat. Untuk dapat disebut masyarakat hukum adat, kita dapat meminjam kriteria dari Penjelasan Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terdapat 5 syarat antara lain, Pertama, Masyarakat Adat Suku Awyu merupakan bentuk paguyuban dengan keterikatan kesamaan keturunan. Kedua, Suku Awyu merupakan salah satu suku asli Papua yang tinggal di sekitar Kabupaten Mappi dan Kabupaten Boven Digoel. Ketiga, seluruh rakyat suku Awyu memiliki identitas budaya yang sama. Keempat, masyarakat Suku Awyu memiliki hukum adat dan sanksi. Kelima, masyarakat Suku Awyu berada di bawah koordinasi Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua. Terpenuhinya kelima unsur tersebut menandakan bahwa masyarakat Suku Awyu memang berhak diakui keberadaannya sebagai masyarakat adat dan mendapatkan perlindungan semestinya.
Payung Hukum yang Mengakui dan Melindungi Suku Awyu
Sampai sejauh ini, negara mengakui eksistensi masyarakat adat dan hak-hak tradisional yang mereka miliki secara konstitusional pada Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa negara mengakui kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Peraturan tersebut kemudian dipertegas dengan Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mengakui hutan di wilayah masyarakat adat sebagai hutan milik mereka dan bukan milik negara. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menguji pasal-pasal dalam UU Kehutanan juga menegaskan bahwa hutan yang berada di dalam daerah tempat tinggal masyarakat adat adalah hutan adat sehingga pemanfaatannya tidak bisa semena-mena dan harus memperhatikan masyarakat adat yang tinggal di situ. Selain itu, khusus untuk daerah Papua, terdapat Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat MHA Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Adat Atas Tanah yang dalam Pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa dalam pemanfaatan tanah dan pengalihan hak, setiap pihak harus memperoleh persetujuan tertulis masyarakat adat.
Sayangnya, sejumlah peraturan di atas belum dapat melindungi masyarakat adat secara keseluruhan. Peraturan yang telah disebutkan di atas dan peraturan-peraturan lain yang melibatkan masyarakat adat hanya menganggap masyarakat adat sebagai subjek ekonomi pemilik suatu wilayah. Pengakuan terhadap masyarakat adat juga sejauh ini masih berbentuk peraturan daerah, sedangkan belum semua pemerintah daerah mengakui masyarakat adat yang berada dalam wilayah pemerintahannya. Belum ada peraturan yang berlaku secara nasional yang mewajibkan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai sebuah entitas yang memiliki hukum, adat istiadat, dan wilayah yang berdiri sendiri. Akibatnya, seperti yang terjadi pada Suku Awyu, pengakuan terhadap mereka baru diterbitkan pada tahun 2023 lewat Perda Kabupaten Boven Digoel Nomor 2 Tahun 2023 sehingga pada saat itulah mereka baru punya dasar hukum yang kuat untuk melawan sebagai masyarakat adat yang terdampak proyek tanah merah.
Usaha Memukul Mundur Korporasi
Kehidupan Suku Awyu mulai terancam saat Fabianus Senfahagi mengalihkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT ESK seluas 39.190 hektar kepada PT IAL tanpa sepengetahuan masyarakat Suku Awyu. Padahal, alih fungsi lahan tersebut berpotensi menghancurkan ekosistem kehidupan tempat tinggal mereka. Mereka tidak dianggap ada.
Lalu, Suku Awyu mulai melawan. Masing-masing kampung melakukan konsolidasi dan memasang patok-patok di batas wilayah milik mereka. Bahkan, beberapa kampung juga memasang salib berwarna merah dan bendera merah putih sebagai bentuk perlawanan. Selain itu, Suku Awyu juga menempuh jalur hukum. Dengan diwakili oleh Hendrikus Woro, mereka menggugat Kepala Dinas Penanaman Modal Provinsi Papua atas izin yang diberikannya kepada PT IAL ke PTUN Jayapura. Analisis dampak lingkungan (Amdal) yang menjadi dasar pemberian izin tersebut dianggap cacat. Dokumen Amdal tersebut tidak memuat salah satu marga, yaitu marga Woro sebagai pemilik wilayah adat. Dokumen Amdal tersebut juga dibuat dengan penuh dengan tekanan, ancaman dan kekerasan kepada masyarakat-masyarakat adat terkait. Namun, gugatan Hendrikus Woro tersebut ditolak oleh PTUN Jakarta. Kuasa hukum Hendrikus Woro kemudian mengajukan banding kepada PTUN Manado yang juga ditolak.
Urgensi Undang-Undang Masyarakat Adat
Kisah perjuangan Suku Awyu untuk mempertahankan hak ulayatnya semakin menekankan pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA). Eksistensi masyarakat adat selama ini masih dianaktirikan. Hak-hak mereka selalu dilindas ketika mereka berhadapan dengan kepentingan negara dan kepentingan korporasi. Hal ini disebabkan karena keberadaan masyarakat adat hanya diakui oleh pemerintah daerah setempat. RUU MA memastikan bahwa perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat juga merupakan kewajiban pemerintah pusat (Pasal 18 RUU MA). Dengan RUU ini, masyarakat adat juga dapat mempertahankan hak atas tanah mereka yang mereka kelola secara turun temurun (Pasal 20 RUU MA). Selanjutnya, RUU MA juga memfasilitasi hak masyarakat adat untuk mengetahui, lalu menerima ataupun menolak pembangunan yang dilakukan di wilayah mereka (Pasal 25 RUU MA).
RUU MA sendiri telah diusung sejak 2003, dan dirumuskan naskah akademiknya pada 2010. RUU MA sudah keluar-masuk prolegnas selama beberapa kali dalam 14 tahun belakangan, tetapi belum tampak niat dan usaha yang serius dari pemerintah untuk segera mengesahkan RUU ini. Padahal, tujuan utama dari RUU MA ini adalah untuk tetap mempertahankan eksistensi masyarakat adat yang ada di Indonesia sebagai perwujudan dari Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di mata hukum”. Melihat hal tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama tujuh perwakilan dari masyarakat adat lainnya bahkan sempat menggugat Presiden Jokowi ke PTUN Jakarta karena tidak kunjung memberi perhatian pada RUU ini. Selagi pemerintah belum memberikan perhatian serius kepada masyarakat adat di Indonesia, mereka akan terus menjadi korban konflik dan mendapat perlakuan yang semena-mena. Selama RUU MA belum juga disahkan, selama itu pula hak asasi mereka akan terus dilanggar.
Perjuangan Masih Berlanjut
Papua bukan tanah kosong. Masyarakat adat yang hidup di sana bukan hanya subjek pemilik tanah yang diperlukan izinnya lalu dibuang begitu saja. Mereka bergantung pada tanah mereka. Mereka lahir, hidup, dan mati di sana. Nasib Suku Awyu kini berada di ujung tanduk. Hendrikus Woro bersama dengan kuasa hukum Suku Awyu mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Beberapa warga Suku Awyu bahkan menempuh jarak yang sangat jauh ke Jakarta untuk melakukan aksi damai di depan gedung Mahkamah Agung. Hal itu dilakukan sebagai bentuk simbolis perjuangan Suku Awyu dalam memperjuangkan hutan adat mereka sekaligus mendorong disahkannya RUU MA, serta untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya perlindungan masyarakat adat. Mereka juga memohon kerendahan hati hakim dalam menerima kasasi supaya Suku Awyu dan hutan adat di Digul dapat terselamatkan dan masyarakat adat Digul bisa terus hidup.
Ada banyak masyarakat adat lain di Indonesia selain Suku Awyu dan mereka semua punya risiko yang sama besarnya dengan Suku Awyu. Mereka butuh perlindungan dan perlindungan tersebut harus dilakukan dengan mengesahkan RUU MA. Dengan disahkannya RUU MA, perlindungan terhadap masyarakat adat bukan hanya menjadi kewenangan pemerintah daerah, melainkan juga menjadi kewajiban pemerintah pusat. Melalui pengesahan RUU MA tersebut juga eksistensi masyarakat adat punya dasar hukum yang kuat. Selain itu, hak-hak mereka, adat istiadat, hukum, serta tanah mereka dapat terus terjamin perlindungannya dan mereka dapat terus hidup.