Nama Jurnal : Sriwijaya Law Review
Pengarang : Nur Rochaeti, Mujiono Hafidh Prasetyo, Umi Rozah , dan Taman Jihyun
Tahun : 2023
Diulas oleh : Rheza Naufal Ramaputra
Pendahuluan
Sanksi pidana merupakan alat untuk memelihara tatanan sosial dan hakikatnya banyak melangkahi hak asasi manusia dengan hukuman-hukuman seperti penjara. Padahal, bekerjanya hukum pidana sebijaknya juga harus dilihat dari beberapa perspektif termasuk konteks kebudayaan. Hal ini didukung dengan pendapat Schultz bahwa kejahatan di suatu negara tidak ditentukan oleh perubahan undang-undang atau keputusan pengadilan, tetapi peran negara terhadap perubahan budaya yang signifikan dalam kehidupan sosial.
Restorative justice hadir sebagai alternatif penyelesaian perkara yang menekankan pada perbaikan kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana yang dilakukan, misalnya melalui restitusi dan kompensasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menemukan titik kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, yakni korban dan pelaku. Proses tersebut diharapkan tetap melindungi hak-hak korban dan pelaku, meminimalisir dampak negatif terhadap proses peradilan pidana yang telah terjadi, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum.
Artikel jurnal ini berfokus pada restorative justice di lingkup masyarakat adat. Masyarakat adat dikenal memiliki ikatan budaya, nilai-nilai moral, dan kearifan lokal untuk membantu memecahkan permasalahan di masyarakat. Mereka mengedepankan partisipasi masyarakat dalam penyelesaian perkara pidana, sehingga dapat mewujudkan kondisi yang lebih menguntungkan ke semua pihak. Partisipasi ini dilakukan melalui musyawarah adat yang berkontribusi pada pembentukan restorative justice, setidaknya dalam tiga bentuk yang berbeda. Pertama, modifikasi tradisional; kedua, cara tradisional yang digunakan oleh; ketiga, beberapa jenis peradilan tradisional dimasukkan ke dalam prosedur resmi untuk penanganan kasus pidana. Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini mengangkat rumusan masalah mengenai restorative justice dalam praktik masyarakat adat.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis, seperti melalui etnografi, studi kasus, dan wawancara kepada Jaro Saija (Kepala Adat Suku Baduy Luar) serta Focus Group Discussion dengan Dosen Hukum Pidana. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum primer dan sekunder berupa fakta sosial yang dapat dilihat dalam pengalaman sebagai pola tingkah laku dalam bentuk pranata sosial, konseptualisasi kajian hukum dan teori hukum sebagai sesuatu yang positif dan empiris.
Pembahasan
Kejahatan dapat mengakibatkan berkurangnya pengendalian diri, stigma pada ikatan konvensional dengan hubungan keluarga dalam bermasyarakat, putusnya hubungan yang terjalin antara kelompok dapat mendorong pelaku untuk berorientasi dengan pemikiran yang samar sebagai upaya untuk mengkomunikasikan pelaku terhadap perbuatan yang merugikan pihak lain. Oleh karena itu, bagi masyarakat adat tetap mengenal pertanggungjawaban pelaku dengan memberikan sanksi. Dengan penjatuhan sanksi ini, diharapkan korban berhak untuk terlibat aktif dalam peradilan.
Namun, dikenal pula restorative justice di mana pelaku memberikan kompensasi kepada korban atas kerugian yang ditimbulkan serta melakukan komunikasi dengan korban atau perwakilan korban. Hukum adat disini memberikan solusi sebagai keadilan masyarakat yang ada di sekitarnya. Keterlibatan masyarakat adat dalam proses penegakan hukum diharapkan sebagai bentuk kontrol dan empati dalam arti kepekaan terhadap suatu masalah yang dihadapi masyarakat, perubahan sosial, kebutuhan masyarakat, dan keadaan tanggung jawab nyata masyarakat di bidang hukum. Selain itu penyelesaian masalah sosial dalam masyarakat dapat mengisi dan melengkapi tindakan penanganan oleh lembaga pemerintah.
Penelitian ini membahas praktik restorative justice dalam masyarakat Baduy. Apabila seseorang melakukan pelanggaran pada masyarakat Baduy, biasanya dari pelaku akan mengakui perbuatan dan dilanjutkan upacara adat dengan menyediakan belati, kain mori, uang, kemenyan, sirih, uncaria (buah gambir), dan tumpeng. Setelah empat puluh (40) hari, proses dilanjutkan dengan tangkesan (ramalan) oleh paranormal. Suku Baduy juga menggunakan pemecahan masalah meliputi pengakuan secara moral yang diikuti silih ngahampura (saling memaafkan) atas perbuatan tersebut dan disaksikan oleh jaro (kepada dusun atau desa).
Suku Baduy juga mengenal berbagai tingkatan kejahatan dan pelanggaran, dari berat hingga ringan. Perbuatan kejahatan berat di antaranya perzinahan, pembunuhan santet (sihir), dan perbuatan melukai yang tidak menyebabkan kematian (tebasan). Sementara itu, pelanggaran ringan dapat berupa mengendarai kendaraan. Sanksi terhadap pelanggaran berat dapat berupa kerja sosial. Akan tetapi, hukum adat Suku Baduy menganggap pelanggaran yang paling serius adalah mengenai kejujuran dan kebenaran dalam menjalankan hukum tersebut.
Suku Baduy terdiri atas Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar yang memiliki karakteristik dan aturan yang berbeda. Menurut Jaro Saija (kepala desa Baduy), masyarakat Baduy Dalam diharuskan untuk mengasingkan diri. Dengan begitu, mereka berkontribusi untuk memperkuat hukum adat, sedangkan Suku Baduy Luar memiliki aturan yang lebih longgar, tetapi tetap berkontribusi melestarikan adat Baduy. Larangan dalam masyarakat Baduy didasarkan pada filosofi dasar Baduy, “panjang tidak bisa dipotong, pendek tidak bisa disambung” memiliki arti bahwa apa yang telah diberikan oleh Tuhan terhadap manusia berupa limpahan kekayaan alam, haruslah dijaga karena pada hakikatnya Tuhan telah memenuhi apa yang menjadi kebutuhan manusia, bukan apa yang menjadi keinginan manusia. Dengan demikian, masyarakat Baduy harus menjaga kelestarian alam dan tidak melawan hukum alam. Konsep di atas menggambarkan karakteristik hukum adat di Indonesia yang menunjukkan dukungan terhadap penerapan restorative justice.
Suku Baduy juga mengenal peradilan adat. Eksistensi peradilan itu merupakan wujud penanggulangan kejahatan yang berdasarkan pada aspek substantif dan struktural. Ini menjadikan penanda bahwa Pancasila yang menjadi dasar konstitusi pada negara Indonesia merupakan wadah penanggulangan kejahatan yang didasarkan pada aspek substantif dan struktural. Praktik restorative justice ini dapat menjadi dasar dalam kepastian hukum, keadilan, dan bermanfaat bagi semua pihak untuk mengatasi kejahatan yang berada di masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat adat memiliki eksistensi penting dalam hal mengedepankan penerapan restorative justice di Indonesia.
Penutup
Penelitian terhadap Suku Baduy ini menunjukkan temuan adanya praktik peradilan adat yang khas dalam lingkungan masyarakat tersebut. Terhadap pelanggaran hukum adat Baduy, seseorang akan menjalani pembersihan jasmani dan rohani sebagai tanggung jawab atas kejahatan. Kemudian, praktik yang sejalan dengan prinsip restorative justice dalam masyarakat adat suku Baduy yakni mengutamakan pemaafaan satu sama lain. Penyelesaian tersebut mencerminkan bahwa masyarakat adat suku Baduy mengedepankan pengembalian keseimbangan alam serta perdamaian. Ke depannya, konsep restorative justice tersebut dapat menjadi bahan bagi reformasi hukum pidana, mengingat mediasi dalam penyelenggaraan restorative justice untuk mencapai kesepakatan antara pelaku, korban, keluarga korban, keluarga pelaku, dan pihak-pihak lain yang terlibat..
Catatan kritis
Ditinjau dari aspek teoritis, konsep pada artikel jurnal yang berjudul “A Restorative Justice System in Indonesia: A Close View from the Indigenous Peoples’ Practices” yang ditulis oleh Nur Rochaeti, Mujiono Hafidh Prasetyo, Umi Rozah, dan Jihyun Park sudah komprehensif dalam menjawab rumusan masalah, tetapi rumusan masalah ini tidak dijelaskan secara eksplisit. Ditinjau dari aspek metodologis, Peneliti menggunakan metode secara yuridis sosiologis menekankan pada penelitian yang bertujuan memperoleh pengetahuan hukum secara empiris dan memungkin para peneliti untuk mengumpul data yang lebih lengkap dan terperinci tentang kepercayaan, nilai dan praktik orang-orang yang diteliti. Seperti halnya dalam studi etnografi peneliti membenamkan diri dalam masyarakat dan mengamati serta berpartisipasi dalam praktik secara restorative justice, wawancara yang mendalam terhadap anggota masyarakat untuk mengumpulkan data melalui banyak segi perspektif yang mereka anut dalam sistem peradilan hukum adat tersebut. Namun, dalam rangka membahas restorative justice di lingkungan masyarakat adat Indonesia, alangkah baiknya peneliti turut meninjau suku-suku lain.
Ditinjau dari hasil penelitian, penelitian ini telah menjawab rumusan masalahnya. Terhadap rumusan masalah yang pertama, penelitian telah memberikan jawaban secara komprehensif mengenai pembentukan paradigma restorative justice pada hukum adat Baduy tersebut. Kemudian untuk rumusan masalah kedua, berupa sistem restorative justice yang berada di Indonesia, sudah dibahas dengan baik, seperti dengan penjelasan terkait prinsip-prinsip restorative justice yang didukung dengan aspek-aspek hukum adat di wilayah Indonesia. Namun, pada rumusan masalah terakhir, terdapat beberapa pengulangan yang berpotensi menyebabkan kurang efisien dalam penulisan dan kesalahpahaman. Walaupun demikian, penelitian ini memperluas perspektif terhadap peradilan pidana yang dapat dilakukan dengan restorative justice sebagai kunci dalam penyelesaian permasalahan dengan damai.