Nama Jurnal : Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum
Pengarang : Tanto Lailam, M.Lutfi Chakim
Tahun : 2023
Diulas oleh : Kresensia Laisanulo Harita
Pendahuluan
Peninjauan Kembali (PK) atau judicial review merupakan kewenangan dasar Mahkamah Konstitusi (MK). Peninjauan Kembali adalah kewenangan MK untuk melakukan pengujian suatu peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi. Tujuan PK adalah untuk melindungi kepentingan dari kebijakan mayoritas di masa depan dan kekuatan politik dari partai politik yang dominan serta melindungi warga negara dari undang-undang yang melanggar hak-hak konstitusional yang dijamin dalam konstitusi. Namun, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai PK memiliki kelemahan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 belum mengatur mekanisme peninjauan yang konkrit. Hal ini berdampak pada belum adanya lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan kasus-kasus dan meninjau kembali secara konkret. Banyak perkara yang belum terselesaikan dan banyak pula putusan uji materiil yang dibuat oleh MK dan Mahkamah Agung (MA) yang bertentangan. Berangkat dari permasalahan tersebut, MK perlu diberikan kewenangan untuk meningkatkan perlindungan hak konstitusional warga negara di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengusulkan adopsi judicial review konkret di MK Indonesia berdasarkan sistem German Federal Constitutional Court.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal. Pendekatan yang digunakan adalah: (1) analisis dokumen hukum atau peraturan; (2) metode analisis kasus yaitu mengkaji hukum yang dilakukan dalam praktik hukum terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara-perkara konkret; dan (3) metode analisis komparatif dengan menitikberatkan pada pengujian terhadap dua sistem hukum yang berbeda.
Pembahasan
Praktik yang baik dari German Federal Constitutional Court (GFCC) memberikan pembelajaran yang sangat baik bagi Mahkamah Konstitusi secara global, termasuk Indonesia. Terdapat beberapa alasan mengapa Penulis memilih GFCC sebagai bahan acuan terhadap praktik Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam hal membuat proposal pengujian konstitusional. Pertama, pengujian konkret merupakan komponen dari constitutional review, yang mana Indonesia dan Jerman memiliki model peradilan yang sama. Namun, pengaturan pengujian konstitusional di Indonesia masih terbatas pada kewenangan pengujian abstrak tanpa adanya pengujian konkret. Kedua, sistem hukum Indonesia dan Jerman memiliki sistem yang sama, yaitu Civil Law. Ketiga, kewenangan GFCC sempat disinggung dan didiskusikan dalam pertemuan yang membahas pembentukan MK RI. Terdapat kesamaan umum dalam kewenangan judicial review antara MK RI dan GFCC, khususnya mengenai judicial review yang bersifat abstrak. Namun, MK RI memiliki kewenangan yang terbatas. Kewenangan MK RI hanya mencakup peninjauan terhadap norma-norma yang bersifat abstrak dan belum mengakomodasi peninjauan terhadap norma-norma yang konkrit dan otoritas pengaduan konstitusional.
Kekuasaan kehakiman telah diatur dalam Pasal 24 UUD NRI 1945 yang mengatur kekuasaan kehakiman oleh MK RI dan MA RI. Kedudukan kedua pengadilan tersebut setara tetapi dengan fungsi yang berbeda. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK RI berwenang menguji pertama dan terakhir undang-undang terhadap UUD 1945. Kekuasaan ini dirancang sebagai lembaga peradilan pertama yang meninjau undang-undang, fungsi judicial review ini bertujuan untuk memperbaiki permasalahan peraturan perundang-undangan yaitu benturan undang-undang terhadap konstitusi dalam suatu pemerintahan yang demokratis. Lembaga ini dibentuk untuk menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi, melindungi hak-hak dasar warga negara, dan memperkuat mekanisme checks and balances. Simon Butt mengatakan kekuasaan judicial review hanya sebatas memastikan konstitusionalitas undang-undang atau hanya mempertimbangkan konstitusionalitas norma secara abstrak. Ia tidak mempunyai wewenang untuk meninjau kasus-kasus konkret dan menafsirkan atau menerapkan hukum dalam praktik dan pengaduan konstitusional.
Ketiadaan lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan mekanisme penyelidikan konstitusi dalam sistem hukum di Indonesia menyebabkan kekosongan perlindungan konstitusional bagi warga negara, khususnya bagi mereka yang terlibat dalam proses litigasi di pengadilan. Terdapat fakta hukum dan argumentasi konstitusional mengapa MK RI memerlukan kewenangan pengujian yang konkrit, yaitu banyaknya kasus judicial review konkret yang diajukan ke MK.
Dalam praktik MK RI sejak tahun 2003 hingga saat ini, banyak dijumpai kasus-kasus, seperti kasus Eggi Sudjana yang merupakan terdakwa dalam kasus pidana penghinaan terhadap presiden dan dikenalkan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam kasus Eggi, saat ia masih berstatus terdakwa, ia mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 4 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP Nomor 1 Tahun 1946 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyimpang dari keputusan tersebut dengan tetap menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan pasa 22 Februari 2007. Kemudian pada tanggal 3 Agustus 2011, MA RI mengeluarkan putusan Nomor 153 PK/PID/2010 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus-kasus tersebut merupakan contoh kasus konkret yang sangat baik untuk pembelajaran mengenai kewenangan pengujian konkret di Mahkamah Konstitusi.
Selain permasalahan kelembagaan pengujian UUD NRI 1945, terdapat persoalan dualisme kewenangan di antara MK dan MA. Hal tersebut dapat dilihat dalam kasus Oesman Sapta yang merupakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah 2017-2019. Berdasarkan Pasal 181 dan 182 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum, syarat untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan yang tidak merangkap jabatan publik. Mahkamah Konstitusi menafsirkan “pekerjaan lain” dengan memasukan pengurus partai politik yang dalam hal ini Oesman adalah ketua umum Partai Hati Nurani Rakyat. Keputusan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 Pasal 60A. Dengan demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak meloloskan Oesman sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Oesman kemudian mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung yang kemudian MA membatalkan penafsiran MK dan membatalkan pasal 60A dan mengabulkan permohonan Oesman sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Perbedaan pendapat ini sangat signifikan dan menimbulkan permasalahan.
Penutup
Peran hakim pada peradilan negeri dalam memajukan sistem ketatanegaraan terbukti besar berdasarkan proses pengujian yang konkret, khususnya untuk melindungi hak-hak dasar negara dari undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Berdasarkan Art. 100 of The Basic Law dan GFCC Act, kewenangan GFCC sangat independen dan memainkan peran penting dalam melindungi hak asasi manusia dan memiliki kewenangan untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar dan uji materil di GFCC juga memberikan pengujian terhadap norma yang konkret. Faktanya, MK RI juga bersifat independen, tetapi kewenangannya tidak seluas GFCC dalam uji materiil konkret dalam memperkuat hak-hak dasar dan sistem peradilan konstitusional. Maka MK RI harus merujuk pada praktik judicial review konkret GFCC khususnya mengenai dampak putusan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.
Oleh karena itu, MK RI harus merujuk pada praktik judicial review konkret GFCC. Hal ini didasari oleh pertama, banyaknya perkara yang dihadapi Mahkamah Konstitusi Indonesia. Kedua, dapat memberikan solusi atas permasalahan dualisme judicial review, khususnya terhadap konflik putusan antara MK dan MA. Ketiga, dapat memperkuat peran hakim di MA untuk membangkitkan kewajiban menegakkan UUD 1945. Usulan melalui amandemen UUD 1945 merupakan jalan ideal untuk menciptakan kepastian hukum dan memperkuat institusi perlindungan hak-hak dasar di Indonesia.
Penegakan hukum dengan hakim yang penuh kehati-hatian tentu saja bertujuan agar undang-undang tidak bertentangan dengan hak konstitusional warga negara. Sebagai referensi, hakim di Jerman sangat teliti dan sangat hati-hati dalam mengambil keputusan. Ketika hakim ragu-ragu dalam menerapkan norma tersebut, mereka mengajukan proses rujukan ke GFCC. Hakim akan menanyakan apakah norma tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia berdasarkan konstitusi. GFCC akan menjawab konstitusionalitas norma hukum. Selain itu, kolaborasi konstruktif antara MK dan MA dalam melakukan pengawasan terhadap peraturan perundang-undangan juga diperlukan karena masih terdapat kesalahan peraturan perundang-undangan dan kompromi politik. Pengawasan terhadap hakim di MA dilakukan secara aktif melalui penyerahan perkara ke MK. Di sisi lain, MK bersikap pasif atau menunggu perkaranya. Oleh karena itu, ketidakmampuan MK menyelesaikan perkara melalui pengujian konkret dapat merugikan misi perlindungan hak konstitusional. Maka dari itu, harus ada cara atau alternatif yang memungkinkan untuk melakukan tinjauan konkret. Palguna, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia, turut menulis disertasi doktoral terkait topik tersebut. Laporan beliau menganalisis pengaduan konstitusional dan mengusulkan beberapa alternatif cara untuk menjadikannya sebagai kewenangan MK. Opsi pertama adalah melakukan amandemen kelima UUD 1945 yang prosesnya panjang dan rumit. Kedua, merevisi atau membuat undang-undang baru tentang MK melalui tindakan legislatif. Namun, masyarakat dapat menentang kembali penafsiran undang-undang tersebut. Akan tetapi revisi atau perumusan UU baru mungkin dapat menjadi pendekatan yang efektif untuk menyelesaikan masalah dengan cepat. Ketiga, MK bisa saja mengajukan pengujian konkret melalui penafsiran konstitusi. Akan tetapi, hal itu hanya bisa dilakukan jika ada kasus tertentu yang ada kaitannya dengan supremasi hukum. Secara ideal sebenarnya usulan uji materiil yang konkret adalah amandemen UUD NRI 1945 untuk menciptakan kepastian hukum dan memperkuat lembaga perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Catatan Kritis
Ditinjau dari aspek teoritis, konsep-konsep yang dibahas dalam artikel jurnal berjudul A Proposal to Adopt Concrete Judicial Review in Indonesian Constitutional Court: A Study on the German Federal Constitutional Court Experiences yang ditulis oleh Tanto Lailam dan M. Lutfi Chakim sudah cukup komprehensif dalam menjawab rumusan masalah dengan jelas terutama mengenai kewenangan pengujian konstitusional konkret di Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan menggunakan praktik-praktik GFCC sebagai studi komparasi. Ditinjau dari aspek metodologis, penggunaan metode penelitian doktrinal hukum yaitu mencakup teori, prinsip-prinsip hukum, dan interpretasi hukum sudah sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode analisis komparatif dengan membedakan dua entitas dengan mengidentifikasi persamaan, perbedaan, atau pola yang mungkin ada diantara dua entitas. Dengan begitu pemerintah Indonesia dapat mengambil inspirasi dari praktik GFCC yang dapat meningkatkan sistem konstitusi di Indonesia seperti meningkatkan independensi MK dan memperluas wewenang MK dalam menguji undang-undang.
Ditinjau dari hasil penelitian, terdapat rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu pengaturan pengujian konstitusional di Indonesia yang masih terbatas pada kewenangan pengujian secara abstrak saja tanpa adanya pengujian konkret serta adanya dualisme kewenangan antara MA dan MK. Hal ini berdampak pada belum adanya lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan kasus-kasus peninjauan kembali secara konkret. Banyak perkara yang belum terselesaikan dan banyak pula putusan uji materiil yang dibuat oleh MK dan MA yang bertentangan. Indonesia dapat berkaca berdasarkan sistem Mahkamah Konstitusi Jerman yaitu dalam yurisdiksi. Di Jerman, GFFC memiliki yurisdiksi untuk menguji konstitusionalitas undang-undang federal, hukum-hukum negara bagian, serta tindakan-tindakan eksekutif dan legislatif. Sedangkan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi hanya memiliki yurisdiksi untuk menguji konstitusionalitas undang-undang saja. Proses Judicial Review di Jerman, lebih terstruktur dan formal, dengan mekanisme yang jelas untuk pengujian konstitusionalitas. Sedangkan di Indonesia, meskipun Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk melakukan judicial review, prosesnya mungkin lebih fleksibel dan tergantung pada inisiatif pihak-pihak yang terlibat.