
Oleh Zahra Prima Sari
Staf Bidang Jurnalistik LK2 FHUI 2025
Pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 284,4 juta jiwa, menjadikannya negara keempat dengan populasi terbesar di dunia. Pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadi tantangan besar dalam upaya pembangunan berkelanjutan (Databoks, 2025). Pemerintah telah lama menggalakkan program Keluarga Berencana (KB) sebagai langkah strategis pengendalian populasi, antara lain dengan kampanye “Dua Anak Cukup” oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Namun, partisipasi masyarakat terhadap program KB, khususnya laki-laki, masih rendah. Sebuah studi oleh Rahayu et al. (2023) menunjukkan bahwa partisipasi pria dalam KB di Indonesia hanya sekitar 8%, sebagian besar karena faktor budaya dan minimnya informasi tentang metode seperti vasektomi.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusulkan kebijakan yang menuai kontroversi dengan menjadikan vasektomi sebagai syarat bagi keluarga miskin dengan banyak anak untuk menerima bantuan sosial (bansos). Kebijakan yang akan diusulkan ini mulai diumumkan melalui media sosial Gubernur Jawa Barat itu sendiri yaitu melalui platform Tiktok miliknya. Menurut Dedi, banyak permintaan bantuan justru datang dari keluarga prasejahtera dengan lebih dari tiga anak, sehingga ia memandang pentingnya penguatan tanggung jawab reproduktif, terutama dari pihak laki-laki. Usulan ini disertai insentif finansial bagi pria yang bersedia menjalani vasektomi. Meskipun kebijakan ini diklaim sebagai bentuk kontrol populasi dan pencegahan kemiskinan, berbagai pihak mengkritiknya sebagai bentuk diskriminasi terhadap warga miskin. Komnas HAM menilai syarat tersebut melanggar hak atas integritas tubuh dan prinsip non-diskriminasi dalam pemenuhan jaminan sosial.
Kritik lain datang dari perspektif kebijakan sosial dan kesehatan masyarakat. Menurut analisis Soetomo (2023), pendekatan represif atau bersyarat dalam pelayanan publik berisiko memperdalam ketimpangan sosial dan memperlemah kepercayaan publik terhadap negara. Selain itu, kebijakan bersyarat seperti ini bertentangan dengan prinsip universalitas dalam perlindungan sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Hal ini juga tidak sesuai dengan asas-asas yang berada pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, khususnya pada asas keadilan. Alih-alih mensyaratkan prosedur medis, pendekatan yang lebih etis dan efektif adalah peningkatan literasi kesehatan reproduksi, serta pengikutsertaan pria dalam KB secara sukarela dan edukatif. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini agar tidak mencederai prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Ketimpangan Gender dalam Program KB
Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia selama ini menunjukkan kecenderungan bias gender, di mana beban utama pengendalian kelahiran cenderung dibebankan kepada perempuan. Metode-metode seperti pil, suntik, dan IUD, yang lebih umum digunakan, memiliki efek samping seperti gangguan hormonal, menstruasi tidak teratur, bahkan risiko gangguan kesehatan jangka panjang. Kondisi ini mengindikasikan adanya ketimpangan beban reproduksi yang tidak setara antar gender dalam program KB nasional. Ketimpangan ini diperparah dengan minimnya promosi atau edukasi terkait metode kontrasepsi pria yang aman dan permanen (Yolanda, A.M., et al, 2023).
Sebenarnya, keterlibatan pria dalam pengendalian kelahiran juga sangat penting. Salah satu metode kontrasepsi untuk pria adalah vasektomi, yakni prosedur medis yang bersifat permanen namun minim resiko kesehatan. Sayangnya, angka partisipasi pria dalam prosedur ini masih rendah. Studi dari Erlinda, et al. (2019) menunjukkan bahwa resistensi terhadap vasektomi banyak dipengaruhi oleh stigma budaya patriarki, pemahaman agama, dan kurangnya informasi yang memadai. Selama ini program KB seakan dijadikan kewajiban terhadap perempuan sehingga seakan menciptakan itu sebagai kodrat dari seorang perempuan itu sendiri. Tentu saja hal ini menimbulkan perbedaan respon masyarakat atas kebijakan KB kepada perempuan atau laki-laki. Masih banyaknya pendapat yang kontra terhadap KB kepada laki-laki menjadi bukti adanya ketidakseimbangan. Oleh karena itu, wacana kebijakan yang mencoba mendorong pria untuk mengambil peran dalam program KB menjadi relevan untuk dibahas secara lebih luas.
Kebijakan kontroversial Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam konteks ini justru menjadi unik. Ia mencoba membalikkan narasi dominan dengan mewajibkan pria miskin yang memiliki banyak anak untuk menjalani vasektomi agar dapat menerima bantuan sosial (bansos). Menurut Dedi, insentif sebesar Rp500.000,00 akan diberikan kepada mereka yang bersedia menjalani prosedur tersebut sebagai bentuk tanggung jawab keluarga dalam mengelola kelahiran dan kondisi ekonomi. Meskipun menuai kritik, pendekatan ini membuka ruang diskusi tentang keadilan gender dalam program KB dan pentingnya keterlibatan laki-laki secara aktif dalam isu kesehatan reproduksi.
Kebijakan Dedi Mulyadi: Tujuan dan Kontroversi
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusulkan kebijakan kontroversial untuk mengatasi persoalan kemiskinan struktural dan tingginya angka kelahiran pada kelompok masyarakat prasejahtera. Ia menyatakan bahwa banyak pengajuan bantuan sosial (bansos) berasal dari keluarga dengan anak keempat atau kelima yang berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terbatas. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar data penerima bansos dikaitkan dengan data program Keluarga Berencana (KB), khususnya partisipasi KB pria seperti vasektomi. Tujuannya adalah agar distribusi bantuan negara tidak terus-menerus terpusat pada kelompok yang sama tanpa adanya tanggung jawab perencanaan keluarga dari pihak penerima (Tempo, 2025).
Wacana ini justru menuai kritik dari berbagai kalangan. Salah satu kritik datang dari Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, yang menilai bahwa kebijakan tersebut bersifat diskriminatif. Menurutnya, mengaitkan akses terhadap bantuan sosial dengan keputusan reproduktif seseorang merupakan bentuk pelanggaran hak dasar warga negara. Ia menegaskan bahwa problematika kemiskinan tidak bisa disederhanakan menjadi urusan jumlah anak semata, melainkan harus dilihat secara struktural dan komprehensif (Tempo, 2025).
Elisa juga menyebut bahwa solusi jangka panjang dalam menekan angka kemiskinan seharusnya diarahkan pada perbaikan kualitas hidup, terutama melalui peningkatan akses terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan. Pendidikan, khususnya bagi perempuan, memiliki efek jangka panjang dalam menurunkan angka fertilitas dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Oleh karena itu, intervensi sosial seperti bansos sebaiknya tidak disyaratkan dengan prosedur medis yang menyentuh hak atas tubuh, melainkan diarahkan pada pembangunan sumber daya manusia.
Senada dengan itu, Komnas HAM melalui ketuanya, Atnike Nova Sigiro, menyampaikan bahwa menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos berpotensi melanggar prinsip bodily autonomy. Hak atas tubuh adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dinegosiasikan, bahkan oleh negara dalam kondisi darurat sekalipun. Atnike menegaskan bahwa bentuk-bentuk paksaan atau syarat medis tertentu untuk memperoleh bantuan ekonomi bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang dijamin konstitusi (Komnas HAM RI, 2025).
Bagaimana Seharusnya Hukum Bertindak?
Secara hukum, usulan kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos menimbulkan kontroversi karena dinilai berpotensi melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan nasional. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya.” Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur bahwa setiap warga negara berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin serta bebas dari perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, kebijakan yang menjadikan prosedur medis seperti vasektomi sebagai prasyarat ekonomi dapat dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak atas tubuh (bodily integrity) dan kebebasan memilih.
Dari sisi tata kelola bantuan sosial, kebijakan tersebut juga tidak memiliki landasan administratif yang kuat. Menteri Sosial saat itu, Saifullah Yusuf, menyatakan bahwa bantuan sosial merupakan bagian dari sistem jaminan sosial negara dan tidak dapat digunakan sebagai alat tekanan untuk program-program lain tanpa adanya dasar hukum yang sah. Artinya, kebijakan apa pun yang mengubah skema distribusi bansos harus mengacu pada regulasi nasional dan tidak boleh berdiri secara otonom di tingkat daerah. Perkataan dari Menteri Sosial ini mengacu pada Permensos Nomor 1 Tahun 2019, khususnya pada pasal 20 tentang pelaksanaan bansos, dan Pasal 22 dimana pemberian bansos memang harus sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Hal ini penting untuk menjaga kesetaraan perlakuan dan keadilan bagi seluruh warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan pilihan reproduktif.
Menanggapi polemik ini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhaimin Iskandar, turut menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan syarat-syarat bansos yang menyimpang dari ketentuan pemerintah pusat. Ia mengingatkan bahwa intervensi kebijakan di sektor kesejahteraan sosial harus melalui koordinasi dan harmonisasi kebijakan nasional agar tidak menimbulkan pelanggaran hak atau konflik kewenangan. Oleh karena itu, sebelum diterapkan, kebijakan yang menyangkut tubuh dan hak dasar warga seperti vasektomi wajib dikaji secara multidisipliner dan melibatkan proses legislasi yang transparan dan akuntabel.
Usulan kebijakan vasektomi bersyarat oleh Gubernur Dedi Mulyadi mencerminkan upaya mengatasi permasalahan ganda antara tingginya laju pertumbuhan penduduk dan kemiskinan struktural. Meskipun dilandasi niat untuk menumbuhkan tanggung jawab dalam perencanaan keluarga, pendekatan tersebut menimbulkan dilema etis dan hukum. Menjadikan prosedur medis sebagai syarat bantuan sosial berpotensi melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas integritas tubuh dan non-diskriminasi terhadap kelompok rentan. Oleh karena itu, kebijakan seperti ini harus dikaji secara menyeluruh agar tidak kontraproduktif terhadap tujuan keadilan sosial.
Langkah yang lebih ideal adalah mendorong partisipasi pria dalam program KB secara sukarela melalui pendekatan edukatif dan pemberian insentif yang bersifat pilihan, bukan paksaan. Pemerintah juga perlu memperluas akses informasi serta pelayanan kesehatan reproduksi yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Apabila integrasi antara kebijakan sosial dan pengendalian kependudukan tetap diupayakan, maka dialog lintas sektor melibatkan pakar hukum, tokoh agama, dan masyarakat sipil menjadi krusial agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya efektif, tetapi juga etis dan inklusif.
Sebaiknya jika memang ingin mengatasi masalah pada tingginya laju pertumbuhan penduduk dipisahkan dengan permasalahan kemiskinan agar tidak menentang aturan hukum yang sudah mengatur setiap permasalahan tersebut. Jika kebijakan vasektomi ini tidak bisa diaplikasikan pada program bansos, bisa menggunakan alternatif lain seperti hanya memberikan sosialisasi dan insentif pada mereka yang bersedia. Hal ini mencegah terjadinya pelanggaran aturan hukum yang sudah ada.